Senin, 25 April 2011

Konsep Peran dalam Beragam Tinjauan

A.1. Peran Menurut Islam
Manusia mempunyai peran penting di muka bumi ini. Kondisi baik-buruk kehidupan di dunia sangat ditentukan oleh konsistensi manusia dalam melakukan aktivitas baik positif maupun negatif. Dalam hal ini, manusia merupakan faktor penting bagi terciptanya keseimbangan dunia. Sebagaimana Allah berfirman, Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,…” (QS. Al-Baqarah:30), dan juga, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) semuanya… (QS. Al-Baqarah:31).
Yang dimaksud khalifah dalam ayat tersebut adalah manusia. Sedangkan kata asma (nama) dalam ayat berikutnya adalah nilai-nilai Allah SWT yang berbentuk makhluk ciptaan selain manusia. Manusia di muka bumi sebagai manifestasi wujud Allah. Oleh karena itu, manusia berkewajiban menjaga dan mengembangkan asma atau nilai-nilai-Nya.
Khalifah adalah pengganti Allah di muka bumi untuk mengetahui ciptaan-ciptaan-Nya; jagat raya dan kekayaan alam ini seperti hutan, sungai, tanah, batu-batuan, gunung, bukit dan tumbuh-tumbuhan. Dalam surat al-Hijr ayat 19-20, Allah menegaskan salah satu hubungan kita dengan alam, yang artinya:
“Dan Kami telah hamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah jadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rizki kepadanya.”

Seperti disebutkan di atas, alam jagat raya beserta isinya merupakan asma, nilai dan ayat-ayat kauniyah-Nya. Salah satu bentuk penghambaan manusia terhadap penciptanya dengan menyukuri, mengoptimalisasi kemampuan dalam melestarikan, mengembangkan dan mencegah sedini mungkin berbagai bentuk mafsadat (kerusakan) terhadap alam semesta. Mashlahat (kebaikan/ kesejahteraan) merupakan suatu tujuan bagi peran khalifah di muka bumi. Segala sesuatu yang terkait dengan kebaikan, kemakmuran dan kesejahteran manusia di muka bumi menjadi kewajiban guna menjadi khalifah yang baik.
Peran manusia sebagai khalifah telah jelas ditegaskan Allah sebagai mandataris di muka bumi. Hal ini dapat diartikan bahwa manusia sebagai khalifah adalah sebagai penegak tauhid, keadilan, keselamatan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Pencapaian ketenangan batin dan kesejahteraan lahir di dunia dituntut dari Adam beserta anak cucunya. Usaha-usaha yang baik harus dilakukan agar tercapainya tujuan tersebut. Anak cucu adam secara alami akan terdorong untuk mewujudkannya sekaligus menyediakan sarana dan mekanisme pencapaian tujuan tersebut. Dalam merelisasikan peran tersebut, Islam menganjurkan peran aktif semua pihak karena kegiatan yang beragam dan disesuaikan dengan kondisi dan sasaran yang dicapai. Sayyid Quthb, dikutip oleh Quraish Shihab, menyatakan bahwa “cita-cita sosial Islam (kesejahteraan sosial yang diperjuangkannya), bukan hanya berbentuk finansial belaka tetapi dalam berbagai bentuk lain juga. Usaha dapat dilakukan secara beragam seperti zakat, infak dan shadaqoh adalah sebagaian cara dari banyak usaha yang dianjurkan dalam Islam.”
Terlebih, peran khalifah dalam upaya mewujudkan cita-cita, dalam perjuangannya harus menambahkan bobot aspek akidah dan etika dalam diri pemeluknya. Perjuangan dimulai diri tiap individu dengan pendidikan kejiwaan lalu berlanjut ke tingkat keluarga dan masyarakat sehingga mewujudkan kesejahteraan untuk semuanya. Menurut Quraish Shihab, salah satu usaha untuk itu adalah a. meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam mengembangkan swadaya masyarakat, b. membuka peluang kesempatan kerja dan keterampilan, c. menguatkan kapasitas keuangan masyarakat miskin.
Oleh karena itu peranan yang dinamis-positif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan kewajiban manusia karena perubahan kecil apapun atau ide dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa usaha. Ini dikuatkan dengan rumusan Allah dalam al-Quran yang artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka)…” (QS: 13:11).
A.2. Peran Dalam Sosiologi
Peran dalam konteks sosiologis dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan; pendekatan struktural dan pendekatan interaksionis. Pendekatan struktural menekankan norma-norma seperti: hak, tanggung jawab, ekspektasi dan standar tingkah laku yang diasosiasikan dengan posisi sosial. Dengan kata lain, posisi sosial seseorang dilihat sebagai sesuatu yang mempengaruhi tindakan seseorang. Tidak hanya itu, terkadang status sosial seperti gender, etnisitas, orientasi seks dan kelas sosial pun membentuk peran. Sedangkan perspektif interaksionis fokus terhadap bagaimana individu-individu beradaptasi dan bertindak peran saat interaksi. Individu melakukan peran mereka dengan yang lain pada suatu konteks sosial, sama halnya aktor dalam sebuah drama (role-performing). Individu juga mengambil peran orang lain untuk mengantisipasi tindakan yang akan terjadi (role-taking) dan secara berkelanjutan memproduksi peran dan reproduksi peran (role-making). Akibat dari interaksi-interaksi tersebut, individu mengidentifikasi diri mereka dan pengidentifikasian orang lain yang memangku status sosial dan posisi sosial.
Stuktur masyarakat menentukan harapan-harapan terhadap pemegang peranan (role of expectations) yang menurut Dahrendorf harapan tersebut berasal dari norma sosial dan individu atau kelompok dengan melalui “normative reference groupnya”. Pembedaan dilakukan antara ‘harapan bagi suatu peranan’ dengan pendapat individu yang menekankan pada perspektif masyarakat yang bersifat deterministik seperti agama. Dalam hal ini, penekanan terhadap peran dari pendapat individu pada perspektif masyarakat deterministik akan lebih dibahas.
Antara agama dan pemeluknya, ada norma yang biasanya ditetapkan oleh agama untuk bertindak. Akan tetapi, ada pula harapan yang dilimpahkan agama kepada pemeluknya. Hubungan agama dan masyarakat ada pada dimensi agama sebagai suatu keyakinan baik bersifat transcendent dan sosial serta aspek-aspeknya. Peranan agama dalam kehidupan sosial selain sebagai sesuatu yang final dan ultimate dalam pandangan pemeluknya, juga sebagai sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan masyarakat.
Teori fungsionalis agama memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” (referensi transendental) sebagai dasar dari karakteristik dasar eksistensi manusia meliputi: pertama manusia hidup dalam ketidakpastian, dan memandang keamanan serta kesejahteraan sebagai sesuatu yang berada di luar jangkauannya; kedua, kemampuan terbatas manusia dalam mengendalikan dan mempengaruhi kondisinya; ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi teratur dari pelbagai fungsi, fasilitas dan ganjaran. Fungsi agama di bidang sosial sebagai fungsi penentu, dimana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Kristalisasi fungsi agama di wilayah sosial ditandai dengan upaya pelembagaan agama. Pelembagaan agama bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oeh perkembangan agama dan puncak pelembagaan agama terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat) dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi keagamaan terlembaga berfungsi mengelola masalah-masalah keagamaan. Adanya organisasi keagamaan akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi, yang notabene membuka kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adaptif. Organisasi keagamaan yang pada awalnya tumbuh dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga seperti: Muhammadiyah yang dipelopori Kiai Haji Ahmad Dahlan dari pemikiran Muhammad Abduh dan Nahdlatul Ulama dari kuatnya pengaruh KH. Hasyim Asy’ari dari tradisi empat mazhab, khususnya terhadap Mazhab Syafi’i.
Tampilnya organisasi keagamaan juga disebabkan adanya perubahan batin atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan dan sebagainya. Dari keterkaitan seperti itu lah yang membentuk corak organisasi keagamaan.
Begitu juga jika dikaitkan dengan peran pemerintah sebagai penyelenggara negara, struktur masyarakat dengan norma sosial yang ada membentuk harapan-harapan bagi terciptanya negara yang sejahtera atau pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Terbentuknya negara sejahtera tidak hanya karena ada sebuah hukum formal yang mencita-citakan, tetapi juga adanya desakan sosial atau norma sosial yang menyepakati.
Karena dalam negara ada interaksi yang terjadi dengan masyarakat yang diikuti dengan hukum formal dan legitimasi sosial, ini membuka tanggung jawab nilai yang ingin dicapai bersama. Adanya legal formal yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar atau peraturan-peraturan pemerintah, serta adanya sebuah harapan dan desakan masyarakat (norma sosial), peran serta masyarakat dalam mewujudkan ‘negara sejahtera’ menjadi kewajiban. Struktur masyarakat yang ada; pranata-pranata sosial seperti, pendidikan, LSM, organisasi keagamaan, dsb, dapat berperan dalam atau melakukan usaha-usaha untuk cita-cita yang disepakati.
Kesepakatan peranan dalam sebuah organisasi sosial terkait erat dengan cita-cita organisasi tersebut. Tiap organisasi mempunyai visi, misi dan karakter kelembagaan yang berbeda. Organisasi sosial kemasyarakatan di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, PERSIS dan lainnya pasti mempunyai rumusan berbeda terhadap peranan yang harus mereka lakukan dalam masyarakat.
Walhasil, antara norma-harapan, hak-kewajiban dan nilai-tujuan dalam konteks sosiologis, peran manusia dalam segala aspek hidup merupakan sebuah keniscayaan. Kesemuanya itu merupakan sebuah kedinamisan hubungan sosial manusia dengan sekitar dan menjadikan manusia sebagai satu-satu factor dominan dalam teori peran.


A.3. Peran dalam Ilmu Kesejahteraan sosial
Peran dalam ilmu kesejahteraan sosial sangat terkait dengan profesi yang mengusahakan kesejahteraan sosial, profesi tersebut dikenal dengan istilah Pekerja Sosial (social work)/ (peksos). Peksos adalah profesi yang memperhatikan penyesuaian antara individu dengan lingkungannya, individu (kelompok) dalam hubungan dengan situasi (kondisi) sosialnya. Ini dilandasi dengan konsep “fungsi sosial” dan terkait dengan kinerja (performance) beragam peranan sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini, seorang peksos bergelut dengan kondisi akibat dari ketidakmampuan seseorang, kelompok atau masyarakat untuk berfungsi sosial dengan baik. Peran peksos inilah yang disebut dengan ‘intervensi peksos’ atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan intervention roles. Intervensi ini akan membentuk peranan yang harus dilaksanakan peksos. Ada beberapa pendapat mengenai peran peksos ini.
Zastrow memberi pandangan bahwa setidaknya ada 7 peran dalam ilmu kesejahteraan sosial, yaitu:
1. Enabler; berfungsi untuk membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka; mengidentifikasi masalah mereka sendiri; mengetahui dan mengembangkan kapasitas yang mereka miliki guna memecahkan masalah yang mereka hadapi. Intisarinya adalah help people (organize) to help themselves, dan perannya adalah sebagai community worker atau community organizer.
2. Broker; berperan sebagai mediator yang menghubungkan antara individu atau kelompok yang membutuhkan bantuan dengan pihak yang memiliki sumber daya.
3. Ahli (Expert); peran ini lebih pada pemberian saran dan dukungan informasi. Usulan seorang ahli bersifat masukan gagasan sebagai bahan pertimbangan saja.
4. Perencana Sosial (Social Planner); berperan sebagai assessor hingga ke implementor. Seorang perencana melakukan pemetaan sosial, menganalisa, mencari alternatif pemecahan, mencari sumber dana, mengembangkan konsensus kelompok yang mempunyai berbagai minat maupun kepentingan. Ada tumpang tindih antara seorang ahli dengan seorang perencana sosial. Seorang ahli lebih fokus dalam pemberian usulan dan saran, sedangkan perencana sosial lebih fokus ke tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pengimplemtasian program-program.
5. Advokat (advocate); peran ini meminjam disiplin ilmu hukum dimana usaha yang dilakukan berfungsi sebagai advokat yang mewakili kelompok yang membutuhkan bantuan dan layanan dengan kondisi institusi yang seharusnya memberikan bantuan tidak memperdulikan.
6. Aktivis (activist); peran ini dilakukan untuk mengorganisir kelompok yang menjadi korban atau kurang mendapat keuntungan (disadvantaged group) atas dasar ketidakadilan, ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku dan perampasan hak untuk melakukan perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang ada. Pola dilakukan dengan penekanan dalam bentuk konfrontasi (demonstrasi) dan negosiasi.
7. Edukator (educator); peran ini membutuhkan ketrampilan sebagai pembicara dan pendidik. Peran ini memberikan informasi mengenai beberapa hal tertentu misalnya upaya pencegahan HIV/AIDS yaitu dengan melakukan penyuluhan kepada kelompok rentan penyakit tersebut seperti remaja; kelompok homo seksual dan lain-lain.
Beulah R. Compton dan Burt Galaway menambahkan peran mediator dalam peran intervensi. Mediator terlibat dalam usaha-usaha untuk mendamaikan konflik, pertentangan, ketegangan antara dua pihak yang berselisih baik individu, kelompok maupun organisasi. Peran ini sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. Peran ini dituntut untuk dapat terlibat membangun dan mengarahkan pada resolusi yang konstruktif. Peran terkadang saling tumpang tindih dengan peran enabler. Akan tetapi para akademisi ilmu kesejahteraan sosial tidak terlalu mempersalahkan perdebatan yang terjadi. Sedangkan G. Hull menambah peran fasilitator dan case manager untuk peksos generalis.
Pemaknaan kata peran di sini mempunyai arti luas karena intervensi dilakukan oleh sebuah LKS baik bersifat langsung maupun tidak langsung yang dalam konteks ini adalah LP Ma’arif NU. Segala usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh LP Ma’arif NU akan memposisikan mereka pada klasifikasi peran-peran di atas.
B. Defenisi Operasional Kesejahteraan Sosial
B.1. Sejarah dan Pengertian Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial (social welfare atau profesi pekerjaan sosial (social work) merupakan sebuah cabang ilmu yang relatif muda. Disiplin ilmu ini pada awalnya merupakan hasil dari perpaduan beberapa disiplin ilmu khususnya sosiologi dan psikologi. Penguraian sejarah ilmu ini selalu terkait dengan perkembangan keduanya. Pengaruh dua disiplin ilmu ini sangat terasa pada awal-awal munculnya disiplin ilmu kesejahteraan sosial yang membentuk pula berbagai pengertian kesejahteraan sosial. Akan tetapi, dalam sub bab ini, penguraian sejarah kesejahteraan sosial dan pengertiannya akan lebih bersifat umum dan cukup representatif yaitu dengan pembacaan kenegaraan dan keilmuan.
Munculnya hukum-hukum orang miskin (poor law) yang dikenal dengan Elizabeth Poor Law (EPL) di Inggris sering dianggap sebagai awalnya keterlibatan pemerintah pada kesejahteraan sosial. Akan tetapi, jauh sebelum itu, ada beberapa contoh awal keterlibatan negara seperti pada Bangsa Babilon, dengan hukum-hukum Hammurabi yang memberi perhatian dan perlindungan kepada janda dan anak miskin.
Selain itu, di awal pembentukan pemerintahan Islam di Madinah terlahir produk hokum yang dinamakan Piagam Madinah yang bertujuan melindungi kepentingan beragam kelompok sosial yang ada. Dalam agama Kristen, kesejahteraan sosial pada mulanya merupakan tanggung jawab institusi keagamaan (gereja). Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan industri di Eropa berefek kepada ketidakmampuan gereja dalam menangani masalah sosial yang timbul di masyarakat, dan dengan kondisi tersebut, memaksa pemerintah untuk turut campur.
Sejarah mencatat peran signifikan ilmuan dalam proses berkembangnya ilmu kesejehateraan sosial sebagai disiplin ilmu pengetahuan. Nama-nama seperti Juan Luis Vives di Spanyol dengan konsep “De subventione Pauperum” yang dimplementasi pemerintah kota Hamburg tahun 1788 dan di kota Munich tahun 1790 yang diperkenalkan oleh Benjamin Thompson. Kota Elberfeld memperkenalkan sistem yang sama tahun 1853. Biaya dari sistem tersebut diambil dari pajak umum. Di Perancis, muncul reformis terkenal bernama Vincent de Paul yang mendirikan rumah sakit, panti anak yatim piatu dan tempat singgah untuk mantan narapidana, anak yatim, mereka yang sakit dan kelaparan. Selain itu ia mempelopori gerakan sukarelawan yang dikenal dengan Ladies Charities untuk kalangan istri pegawai pemerintah dan Daughters of Charity untuk wanita-wanita desa. Seiring perubahan masyarakat dan segala permasalahannya, perkembangan keilmuan kesos pun bertransformasi sesuai konteks secara terus menerus. Dari proses-proses panjang yang terjadi, muncullah beragam pengertian mengenai kesos.
Istilah kesejahteraan sosial dalam bahasa Inggris disebut dengan social welfare dan beragam definisi muncul dari para akademisi dan praktisi baik dalam negeri maupun luar negeri. Terminologi kesejahteraan sosial; usaha kesejahteraan sosial dan pekerjan sosial seringkali digunakan secara bergantian dan saling menggantikan. Hal ini terjadi karena ketiga konsep tersebut saling terkait. Untuk kemudahan penulisan, penulis akan menggunakan kesejahteraan sosial.
Edi Suharto memandang kesejahteraan sosial dengan tiga konsepsi: 1. Kondisi kehidupan yang sejahtera; terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. 2. Institusi, arena atau bidang yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial (LKS) dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial (UKS). 3. Aktivitas, suatu kegiatan atau usaha terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.
James Midgley mendefinisikan kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas tiga elemen: 1. sejauh mana masalah sosial diatur, 2. Sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, 3. Kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan. Elizabeth Wickenden mendefinisikan kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya adalah peraturan perundangan, program, tunjangan, dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat. Gertrude Wilson mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu perhatian yang terorganisir dari semua orang untuk semua orang.
Selanjutnya, Walter Friedlander menyatakan konsep kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisir untuk menjamin individu ataupun kelompok agar dapat mencapai kebutuhan dasar hidup yang memuaskan. Hal ini dikuatkan dengan definisi dari panitia konferensi internasional kesejahteraan sosial yang mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagi berikut:
“Social welfare is all the organized social arrangements which have as their direct and primary objective the well-being of people in social context. It includes the broad range of policies and services which are concerned with various aspects of people live-their income, security, health, housing, education, recreation, cultural tradition, etc.
“Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula kebijakan dan pelayanan yang terkait berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, tradisi budaya, dll.”

Pengertian kesejahteraan sosial juga dapat dilihat dengan cara pandang terhadap kesehatan. Menurut Soeharto Herdjan, seperti yang dikutip oleh Isbandi, kesehatan jiwa dapat dilihat dari empat sudut pandang: kesehatan sebagai suatu kondisi, sebagai sebuah disiplin ilmu, sebagai kegiatan dan suatu gerakan. Dengan analogi tersebut, maka kesejahteraan sosial dapat dilihat sebagai: 1. suatu keadaan (kondisi); 2. Kesejahteraan sebagai suatu ilmu; 3. Kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang kegiatan; 4. Suatu gerakan.
Dari berbagai pengertian yang ada mengenai kesejahteraan sosial, kita dapat sekurang-kurangnya menangkap pengertian bahwa kesejahteraan sosial adalah sebagai sesuatu yang mencakup ilmu (konsep), harapan atau impian (kondisi), usaha (bidang dan gerakan) yang dikembangkan guna mencapai kesejahteraan umum, baik secara materil maupun non materil.
B.2. Kesejahteraan Sosial Menurut Islam
Menurut penulis, pandangan Islam terhadap kesejahteraan sosial ada dua pandangan. Pandangan bersifat non fatalistik, dan pandangan fatalistik; kehidupan akhirat lebih utama dari pada kehidupan di dunia ini. Banyak ayat al-Quran dan hadits nabi yang menyokong pemahaman fatalistik ini yang memandang dunia sebagai suatu hal nista dan tidak bermartabat dan berakibat tidak ada usaha yang sungguh untuk menciptakan hidup sejahtera. Di sisi lain, terdapat ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk mencapai kapasitas maksimal sebagai seorang khalifah yaitu mencapai kehidupan yang sejahtera di muka bumi, inilah yang penulis sebut dengan pandangan non fatalistik.
Di dalam doktrin Islam, berkembang pemahaman bahwa kemiskinan dan kefakiran sesuatu yang lazim, biasa dan merupakan “takdir” Allah SWT kepada sesbagian umat Islam. Pemahaman ini muncul ketika memaknai ayat-ayat sebagai berikut:
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga-banggaan di antara kalian serta berlomba-lomba dalam harta kekayaan dan anak keturunan...” (QS. Al-Hadid: 20)

“…Dan tidak ada kehidupan dunia dunia kecuali hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

“Dunia ibarat penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” (HR. Ibnu Laa Lin ‘an Nas)

“Surga dikelilingi dengan sesuatu yang dibenci, dan neraka dikelilingi dengan kesenangan-kesenangan.” (HR. Abu Huroiroh).

Pemahaman ini sayangnya sangat mengakar dalam awal bawah sadar masyarakat muslim kalangan bawah. Oleh karena itu, peran ulama, guru, mubaligh dan doktrin tasawuf sangat besar dalam hal ini untuk memberi pemahaman yang lebih mencerahkan. Pendekatan teologis anti tesis dari realitas faktual ini sangat dibutuhkan.
Sebetulnya, al-Quran sendiri berbicara tentang keseimbangan. Persoalan keseimbangan sangat serius dibicarakan dalam al-Quran. Sebab, di samping ajakan kitab suci ini untuk diterapkan oleh manusia, juga diterapkan dalam alokasi penggunaan kata-katanya. Kita lihat misalnya kata al-maut (mati) disebut dengan jumlah yang sama dengan kata al-hayat (hidup) yaitu 145 kali; al-malaikah dan syaithan sebanyak 88 kali; kata syukur dan mushibah sebanyak 85 kali; kata zakat dan barakah sebanyak 32 kali dan juga kata dunya dan akhirat disebutkan dengan bilangan yang sama, yaitu: 115 kali.
Islam memiliki prinsip-prinsip ‘adalah (social justice) yang kuat. Ini dapat dilihat dari ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Makkah yang sarat dengan keadilan sosial; zakat, perhatian terhadap kaum miskin, anak yatim dan kelompok lemah lainnya. Islam juga memberikan penghargaan dan perlindungan kepada wanita. Hal mendasarnya adalah setiap individu memiliki hak untuk hidup, berkembang dan sejahtera. Ketimpangan, orang lapar dan lemah, orang miskin, yatim, orang cacat dan buta tidak boleh dibiarkan dalam kesulitan sementara sebagian lainnya sejahtera.
Kewajiban membayar zakat (termasuk anjuran wakaf, qurban, sedekah dan infaq) merupakan usaha kesehateraan sosial dan usaha penciptaan stabilitas. Zakat diartikan sebagai “memelihara” orang miskin dan asnaf lainnya, akan tetapi bermakna transformative. Ini berarti zakat bukan sebagai saran kaum miskin bertahan hidup tapi diorientasikan dari penerima zakat (mustahiq) menjadi pembayar zakat (muzakki).
Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber otentik syari’ah Islam telah memberikan alternatif dalam setiap pembahasan yang berkaitan dengan dimensi kehidupan. Sedangkan syari’ah Islam datang untuk menghilangkan kesusahan dan kesusahan manusia, meminimalisir bahaya dan mencari nilai mashlahah bagi manusia. Syari’at Islam itu tidak hanya membahas tentang akhirat saja, juga mengatur kehidupan manusia di dunia, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang kamu dari padanya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (QS.Hud: 88).

Dari sini nampak jelas bahwa hukum/fikih senantiasa memperhatikan mashlahah manusia, yang diimplementasikan lewat maqashid syar’iyyah. Secara etimologis, maqashid berasal dari kata qasada yang berarti menghadap pada sesuatu. Sedangkan secara terminologis adalah sasaran-sasaran yang dituju oleh syari’at dan rahasia-rahasia yang diinginkan oleh Allah SWT dalam setiap hukum-hukum-Nya untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Sasaran maqashid syar’iyyah adalah melestarikan tatanan dunia dengan jaminan hak-hak asasi manusia, sebagai subyek dalam pelestarian dan pemakmuran alam. Ini berusaha untuk memelihara hak-hak manusia yang pada implementasinya terarah pada akidah, mengekspresikan amal dan juga status sosial individu di tengah masyarakat. Karena reformasi yang dicita-citakan oleh Islam adalah perbaikan yang menyeluruh pada setiap permasalahan umat manusia.
Maqashid syar’iyyah memiliki lima prinsip dasar yaitu: pertama, al khifd al-din; prinsip perlindungan terhadap agama, kedua, al-khifd al-nafs; prinsip melindungi hak hidup individu dan masyarakat dalam memiliki kekuatan dan kemampuan melindungi dan mengusahakan kesejahteraannya secara mandiri. ketiga, al-khifd al-‘aql; prinsip melindungi akal dari segala yang mengganggu daya pikir dan kreatifitas, keempat, al-khifd al-nasl; prinsip melestarikan kelangsungan generasi penerus, kelima, al-khifd al-mal; prinsip perlindungan kekayaan dan hak milik.
Read More

Usaha Kesejahteraan Sosial NU; PP LP Ma'arif

Dorongan untuk sejahtera merupakan suatu hal yang inherent dalam diri manusia terlepas konstruksi pemikiran agama maupun sosiologis manusia. Kedua konstruksi tersebut terus menstimulus manusia untuk terus berkembang atas nama pencapaian kesejahteraan. Pencapaian yang terkadang tidak selalu maksimal karena ketidakmampuan manusia mencapai barometer kesejahteraan mereka ataupun yang digariskan oleh agama.

Al-Qur’an memberikan gambaran sebagai manusia yang sejahtera di surga. Dalam Surat Toha ayat 117-119, kesejehteraan tersebut digambarkan dengan:

Hai Adam, sesungguhnya iblis ini adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Maka, sekali-sekali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga yang akibatnya kamu akan bersusah payah. Sesungguhnya kamu tidak akan lapar di sini (surga), tidak akan pula bertelanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga tidak pula akan kepanasan.

Menurut Quraish Shihab, manusia mengalami kondisi kesejahteraan ideal di surga, dalam keadaan sejahtera, suasana kedamaian, sejahtera lahir dan batin. Kesejahteraan lahir yang terwujud karena tiga kebutuhan mendasar manusia (sandang, pangan, papan) sudah terpenuhi, demikian pula dengan kesejahteraan batin (tanpa ego dan syaitan).

Dalam kehidupan di dunia ini, Islam (sebagai petunjuk Ilahi) mendorong penganutnya untuk melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan prospektif, baik dari segi lahiriah dan batiniah secara terus menerus. Hal ini senada dengan penyataan Agil Siraj:

“...Islam mengidealkan perubahan masyarakat atau komunitas yang dibangun dari tiap individu. Artinya, perubahan yang terjadi pada seseorang harus bermuara pada penciptaan arus, gelombang, atau minimal, riak yang menyentuh orang lain. Dengan demikian, transformasi individu berbarengan dengan perubahan masyarakat. Mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin adalah muara akhir dari transformasi tersebut. Itulah tugas manusia sebagai khalifatullah di muka bumi. Idealisme inilah yang dikenal dengan sebutan “maqashidu-syar’iyyah”, yaitu standar ideal pencapaian kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Islam sebagai agama mempunyai gambaran kesejahteraan bagi manusia yaitu kesejahteraan ruhani dan kesejahteraan jasmani. Kesejahteraan ruhani dilakukan melalui syari’at Allah dengan menjauhi setan yang berarti mewujudkan kesejahteraannya dalam koridor-koridor yang telah ditentukan agama. Sedangkan kesejahteraan lahir atau fisik dengan terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder manusia. Islam mengajarkan kesejahteraan (lahir/batin) harus diupayakan sendiri oleh manusia karena kesejahteraan bukanlah sesuatu yang begitu saja ada (taken for granted) seperti kehidupan di surga. Terdapat banyak definisi mengenai kesejahteraan (dalam hal ini kesejahteraan sosial) yang diberikan oleh beragam kalangan, baik institusi kenegaraan, pemerintah, maupun akademisi.

Secara khusus, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dikutip oleh Mohammad Suud, memberikan batasan terhadap konsep kesejahteraan atau kesejahteraan sosial (selanjutnya penulis akan menggunakan kata kesos dalam penulisan skripsi ini) sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisir dan bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.

Ini dapat diartikan bahwa kessos adalah sebuah institusi atau bidang kegiatan yang terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.

Hal yang agak serupa diungkapkan oleh Edi Suharto bahwa kesejahteraan sosial mempunyai tiga konsepsi: Pertama, kondisi kehidupan yang sejahtera; terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. Kedua, institusi, arena atau bidang yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial (LKS) dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Ketiga, aktivitas suatu kegiatan atau usaha terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.

Kesejahteraan sebagai UKS biasanya selalu dilimpahkan menjadi peran negara seutuhnya. Namun, setiap negara mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam memandang tanggung jawab ini. Hal ini terkait dengan perbedaan faham atas bentuk negara dan corak pembangunan yang digunakan. Indonesia menganut faham negara Kesejahteraan (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) atau yang dikenal dengan istilah welfare pluralism atau Pluralisme Kesejahteraan. Model seperti ini berargumen bahwa negara harus mengambil bagian dalam penyelenggaraan jaminan sosial (social security) dan penanganan masalah sosial dan membuka sisi operasional kepada masyarakat untuk terlibat. Hal ini menyebabkan terbukanya peran non pemerintah untuk turut partisipasi dalam usaha kesejahteraan sosial di Indonesia.

Terbukanya peran serta masyarakat dikuatkan dengan adanya Undang-Undang tentang peran tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat agar berpartisipasi dalam UKS di Indonesia. Undang-Undang RI No. 6 1974 bab 1, pasal 2 ayat 1 berisi Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sebagai berikut:

Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai Pancasila.

Dalam ilmu kesos, usaha-usaha kesejahteraan dilakukan oleh profesi yang dikenal dengan sebutan pekerjaan sosial (disingkat peksos); suatu profesi atau peran yang tumbuh dari berbagai spesialisasi dan lapangan praktek yang beragam. Praktek peksos terjadi pada tiga tingkatan: 1. Micro-individu, 2. Mezzo-terkait dengan keluarga atau kelompok kecil 3. Macro-organisasi, komunitas atau pada ranah kebijakan sosial. Adapula pendapat yang hanya membagi pada dua level saja: mikro dan makro. Selanjutnya, wadah yang menaungi peksos dalam melakukan usaha-usaha kessos disebut dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) atau yang lazim disebut dengan Human Service Organization (HSO).

Arthur Dunham mengklasifiksikan LKS pada: 1. Auspices, 2. Area fungsi (functional fields), 3. Area geografis (geographical area), 4. Lembaga yang memberikan pelayanan langsung (consumer service agencies), 5. Lembaga yang tidak memberikan pelayanan secara langsung (non-consumer service agencies).

Upaya LKS dalam mewujudkan kesos salah satunya dengan identifikasi terhadap masalah sosial yang ada di masyarakat atau yang lazim disebut dengan pemetaan sosial. Pemetaan sosial sebetulnya juga dapat digunakan tidak hanya oleh pemerintah dan LKS saja, akan tetapi terbuka untuk kalangan institusi keagamaan, institusi pendidikan, LSM, ormas dalam merumuskan konsep, bidang dan aktifitas yang akan dilakoni karena masalah sosial merupakan keadaan yang dirasakan orang banyak dan memuat unsur “keharusan melakukan tindakan untuk merubah keadaan (masalah sosial)” dan “tuntutan pemecahan dengan aksi sosial secara kolektif.

Salah satu usaha merubah keadaan dan pemecahan masalah secara kolektif dapat dilakukan melalui sisi agama. Dalam hal ini, pendekatan teologis tidak hanya dipandang sebagai instrumen ilahiyah, tataran hubungan vertikal, namun juga, dapat menjadi spirit sekaligus sebagai alat pemecah persoalan-persoalan kemasyarakatan. Untuk pencapaian tujuan ini, Islam memberikan petunjuk meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah (keyakinan), akhlak (moral), maupun syari’ah (hukum).

Selain itu, relasi agama dan masyarakat ada pada dimensi agama sebagai suatu keyakinan baik bersifat transenden dan sosial serta aspek-aspeknya. Peranan agama dalam kehidupan sosial selain sebagai sesuatu yang final dan ultimate dalam pandangan pemeluknya, juga sebagai sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan masyarakat.

Pelembagaan agama bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oeh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan terlembaga yang fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya organisasi keagamaan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adaptif.

Oleh karena itu, jika Islam mengarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, tujuan negara dalam menyejahterakan rakyat seiring dengan kesejahteraan dunia umumnya dan terbukanya partisipasi masyarakat, maka usaha kesejahteraan sepatutnya menjadi bagian tanggung jawab organisasi keagamaan seperti NU. Selain peran pemerintah atau LSM yang ikut bagian dalam usaha kesejahteraan sosial, peran NU sangat strategis dengan budaya patronase kiyai atau patron-klien dan sosok kiyai dipandang sosok ideal pemimpin, terutama dalam basis agama dan eksistensi ormas ini yang relatif mandiri dari negara menjadikannya mendapat peran penting dalam mengartikulasikan serta memperluas reformasi sosial melalui program-program pemberdayaan masyarakat seperti: pelayanan sosial, penanganan kesehatan, koperasi, pelayanan keagamaan, pendidikan dan sebagainya menjadi catatan penting bagi para ilmuan.

Dalam hal ini, penulis memandang organisasi keagamaan sangat menarik untuk diteliti dan dalam hal penelitian ini; Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama. Ada beberapa alasan sebagai argumentasi menariknya penelitian ini: pertama, penelitian terhadap organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PERSIS, Nahdlatul Wathan dan lain sebagainya sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, masih sedikit yang meneliti organisasi-organisasi tersebut dari perspektif ilmu kesos.

Kedua, berdasarkan fakta yang ada, jumlah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU sebanyak 12094 sekolah terdiri dari Madrasah Ibtidaiyyah hingga Perguruan Tinggi, tersebar di 23 propinsi dan terus berkembang tiap tahunnya. Jumlah lembaga pendidikan ini sangatlah signifikan dan menunjukkan bahwa peran organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah memiliki reputasi sejarah yang sangat cemerlang dengan penampilannya yang mapan di tengah-tengah masyarakat akar rumput (grassroot), baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Ketiga, secara kelembagaan ada lembaga yang spesifik menangani wilayah sosial yang dikenal dengan lembaga mabarot, akan tetapi sejarah membuktikan bahwa eksistensi Ma’arif lebih baik dari pada mabarot karena hingga sekarang lembaga ini masih eksis sedangkan mabarot sudah tidak ada lagi.

Keempat, pendidikan yang dalam ilmu kessos merupakan salah satu bidang UKS ini juga secara khusus menjadi perhatian NU. Dalam hal ini, departementasi yang membidani pendidikan bernama Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (disingkat LP Ma’arif NU). Peran LP Ma’arif NU ini telah memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap pembangunan bangsa khususnya UKS di bidang pendidikan di Indonesia.

Hal ini diperkuat dalam sejarah perjalanan NU, yaitu perhatian terhadap bidang pendidikan yang dapat dilihat dari statuta NU. Lalu dilanjutkan momentum kembali NU ke khittah pada tahun di era Gus Dur di mana LP Ma’arif NU secara resmi menjadi satu-satunya lembaga yang membidani pendidikan.

Read More

Minggu, 24 April 2011

Membangun Good Government dan Good Governance di Tangsel

Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari pelbagai kampus yang didukung rakyat telah menjadikan good governance, walaupun masih terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (clean governance) sebagai salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi. Namun, hingga saat ini, amanat inipun belum tercermin pada kebijakan pro rakyat miskin, penempatan personil yang kredibel, budaya kekerasan, serta dinamika politik yang kurang berorientasi pada kepentingan rakyat masih eksis secara kasat mata.

Kata “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah merupakan sebuah entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Sedangkan governance oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata-pemerintahan yang transparan, pengelolaan pemerintahan yang akuntabel dan bertanggungjawab, dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government).

Perbedaan pokok antara kedua konsep terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan pelbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Sedangkan “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi.

Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, taat hukum, partisipati, efektif, efisien, responsip, orientasi kepentingan umum, kesempatan untuk sejahtera bagi setiap individu (equity), akuntabilitas dan kemitraan. Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses dimana pelbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan, otoritas, dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan pro kepentingan publik, pembangunan ekonomi dan sosial.

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah, civil society; masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil, dan dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan, transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

Untuk Kota Tangsel, kita berharap agar ini terwujud dalam berupa penyelenggaraan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, efisien dan efektif, tanggap, bertanggungjawab, bertindak dan berpihak pada kepentingan rakyat, serta mampu menjaga keselarasan hubungan kemitraan melalui proses interaksi yang dinamis dan konstruktif antara pemerintah, rakyat, dan pelbagai kelompok kepentingan di dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila.

Apa nilai-nilai dasar good government dan good governance yang ada di Indonesia khususnya di kota Tangsel?. Alinea IV Pembukaan UUD 1945 memberikan mandat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam mewujudkannya dalam konteks otonomi daerah bagaimana mengimplementasikan sistem pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan serta kesejahteraan masyarakat, diperlukan adanya perbaikan kinerja kelembagaan dan manejemen publik siapapun kepala daerahnya.

Aktifitas pemerintah mendatang dalam mewujudkan good governance harus mencakup empat aspek. Pertama, prinsip keadilan sosial, termasuk di dalamnya sistem pengadilan yang independen dan tidak pandang bulu. Kedua, kebebasan ekonomi beserta pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajemukan politik yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dan prinsip equity (kesamaan). Sementara keempat, adalah prinsip akuntabilitas pemerintah. Terlebih paska reshuffle pejabat, diharapkan kinerja mereka akan jauh lebih baik dari sebelumnya, inilah harapan besar masyarakat kota Tangsel.

Aktifitas kepemerintahan yang baik harus disinergikan dengan potensi Tangsel yang luar biasa sebagai penyangga Ibukota Negara baik secara alam (geografis) maupun potensi sosial. Secara ekonomipun perekonomian kota cenderung positip. Jikalau rencana pemerintah pusat untuk membangun kawasan greater Jakarta benar menjadi sebuah platform yang jelas, tidak menutup kemungkinan Tangsel menjadi salah satu bagian dari itu. Oleh karenanya, kesiapan pemkot menyambut rencana ini harus baik dan matang sehingga manfaat sosial (social benefit) dapat lebih terserap bagi kota daripada kerugian social (social cost) yang harus ditanggung.

Meskipun belum berjalan secara sempurna, Pemilukada Tangsel dapat kita jadikan tonggak untuk menghadirkan citra pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dua tahun merupakan waktu yang cukup bagi kita untuk melihat indikasi karakter pemerintahan yang hendak dibangun oleh Walikota dan Wakil Walikota terpilih, apakah mengarah kepada good government dan good governance?, atau malah sebaliknya. Kita semua akan dapat menilai di masa yang akan datang.

Sebuah artikel yang ditulis ke salah satu media cetak tangsel.

Jakarta, 02 Februari 2011

Read More

De-materialisasi Sistem Pendidikan Nasional Melalui Sistem Pendidikan Agama di Indonesia

“Knowledge is power, and character is more”

Apa yang ada dalam pikiran kita ketika memandang kondisi bangsa kita ini secara umum baik berdasarkan pengalaman empirik keseharian dengan kacamata peran dan fungsi kita di tatanan masyarakat baik secara mikro maupun makro, maupun berdasarkan media massa yang setiap hari kita dicekoki dengan berita-berita yang sebagian besar bernuansa negative?. Respon yang biasanya muncul, secara pribadi, akan berupa rentetan pertanyaan pula semisal; apa masalah sebenarnya dari bangsa kita? mengapa ini harus terjadi? Kekayaan alam apa yang sebenarnya tidak kita miliki untuk membangun bangsa yang berperadaban dan patut dibanggakan, dsb. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya akan melahirkan jawaban-jawaban personal yang kita yakini sebagai jawaban kita sendiri untuk permasalahan yang ada. Dilihat dari perspektif ekonomi, produk (output) suatu jasa atau barang tergantung dari faktor produksi seperti modal, tanah dan tenaga kerja. Kesediaan dan manejemen yang baik dari faktor produksi tersebut akan melahirkan produk barang atau jasa yang baik pula. Jika kita asumsikan, sebagai manusia, adalah output, sumber dan faktor produksi apa saja yang membentuk kita seperti sekarang ini?.

Secara umum, setidaknya ada empat hal yang membentuk manusia hingga mencapai kemampuan maksimal: 1. Rumah, 2. Pendidikan, 3. Lingkungan, 4. Pengalaman keseharian. Dari keempat hal tersebut dapat dikategorikan menjadi dua kelompok berdasarkan sumber produksi yang bersifat bentukan primer (primary engineered) dan sumber produksi bentukan sekunder (secunder-engineered). Dua hal pertama termasuk dalam kategori bentukan primer karena sifatnya yang terkonsentrasi dan dua hal terakhir masuk dalam kategori sekunder karena lebih kompleks. Faktor produksi bisa direpresentasikan dengan SDM (peserta didik dan pendidik), modal (anggaran pemerintah untuk pendidikan, tanah (infrastruktur) dan manejemen dari faktor produksi tersebut. Satu aspek yang menjadi sangat perhatian baik secara mikro (individu), mezzo (komunitas), makro (pemerintah) adalah pendidikan. Pendidikan terkadang selalu menjadi alasan biang keladi dari output (SDM; manusia) yang tidak sesuai harapan.

Pendidikan berfungsi menyiapkan sumber daya manusia untuk membangun peradaban. Apa jadinya bila peradaban yang baik tidak dibarengi dengan usaha pengembangan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila tidak memberikan sumbangsih secara moral, pasti akan berdampak pada degrasi karakter bangsa yang terpuruk seperti sekarang ini. Jika kita ingin membangun masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi ada baiknya kita harus kembali ke “akar” dari skema pendidikan yang telah digariskan oleh Undang-Undang 45 dan nilai lokal (indigenous values). Akar ini harus selalu berfungsi sebagai landasan gerak arah pemgembangan pendidikan di Indonesia; khususnya pendidikan agama. Penekanan ini sebenarnya sudah ditegaskan dalam UUD 45 Amandemen ke-4. Faktor dominan dalam konstitusi kita terkait sistem pendikan nasional adalah pendidikan nilai dan moral; agama.

Dilihat dari perspektif sejarah, Pendidikan agama yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai salah satu pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan terebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Tuhan dan masyarakat. Secara operasioanal trilogi sistem pendidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke pelbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya.

Sejarah pendidikan Indonesia mencatat pertarungan sengit antara mainstream pendidikan yang disebut modern yang diciptakan penjajah dengan mainstream pendidikan tradisional asli pribumi. Sejak itulah aspek ideologi manusia sebagai pribumi terjadi perubahan untuk mengikuti ideologi materialisme-kapitalis beralih dari ideologi spiritualisme-religius. Ideologi bentukan penjajah jelas merupakan keluaran mental dari sistem moral yang dianut penjajah yang tentunya merambah ranah politik dan ekonomi pula. Ukuran moral a la barat seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral adalah ketika seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta lebih dari orang tuanya.

Meskipun pendidikan tradisional (pribumi) mendapat angin segar ketika Jepang datang ke Indonesia, pertarungan dimenangkan oleh pendekatan yang pertama nampaknya terjadi kompromi di antara founding fathers Negara Indonesia ini dan ditenggarai dengan didirikannya departemen agama di tahun 1948 untuk mengakomodir aspirasi mayoritas umat Islam Indonesia dan berlangsung hingga jaman orde baru dan sekarang. Sejarah mencatat perlakuan tidak seimbang antara dua mainstream ini oleh pemerintah. Walaupun kondisi sekarang sudah membaik, ketertinggalan sistem pendidikan agama masih terasa di segala lini hingga saat ini.

Materialisasi pendidikan yang dimaksud di sini adalah sebuah proses menjadikan semua bernilai materi di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Agama. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut. Contohnya dalam hal kurikulum pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut dirancang sedemikian rupa dan untuk mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya harus mengeluarkan dana yang besar, maka dapat dibayangkan setelah memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengembalikan modal dan tentu berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan untuk menjadikan manusia yang utuh dengan menggunakan prinsip ekonomi tidak akan mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan.

Dalam aspek pendidik misalnya banyak sekali praktek dan perilaku penididik yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Praktik pelanggaran moralitas tinggi justru sudah diajarkan oleh para pendidik kepada peserta didik dengan berbagai praktik dan modus operandi dalam proses pengajaran dan ujian, salah satunya adalah modus di atas.

Peserta didik sebagai korban dari sistem dan proses pendidikan yang akibatnya adanya reduksi makna dari pendidikan menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak. Peserta didik yang sudah berpengalaman, misalnya mahasiswa S1 atau S2 dan bahkan S3 yang telah memahmi praktik-praktik demikian ini dan tidak mau memperhatikan nilai-nilai moralitas akan melakukan praktik-praktik asal bisa lulus dan selesai. Jual beli nilai, jual beli gelar, dan jual beli karya ilmiah adalah suatu fakta tak terelakkan yang menunjukkan betapa rendah mental dan moralitas para peserta didik.

Orientasi manajemen pendidikan yang salah dilihat dari praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus dimana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi tolok ukur majunya sebuah lembaga pendidikan. Jika orientasi kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya.

Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Arus modernisasi secara bombastik mengakibatkan pergeseran karakter masyaraka secara luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, pergeseran budaya, pergeseran gaya hidup, pergeseran pandangan hidup, pergeseran pertilaku politik, pergeseran perilaku ekonomi, dan pergeseran terhadap ajaran agama dan ironisnya salah satu penyebab kemunduran moral bangsa melalui pendidikan.

Materialisasi pendidikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasioanl maupun pendidikan Islam dengan ukuran kuantitatif; berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi, berapa alumni yang telag menjadi dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan apapun akan dapat dipredikisikan penghasilan mereka. Perhitungan jumlah alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, berapa alumni yang telah mampu memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat tanpa pamrih apapun, berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan pendidikannya yaitu menjadi manusia seutuhnya jarang atau hampir tidak ada. Manusia seutuhnya di sini berarti secara jamsani dan ruhani, secara material dan spiritual, dan secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.

Untuk memahami arah kebijakan pembangunan pendidikan, mari kita merunut GBHN 1994-2004 dan UU Sisdiknas tahun 2005. Isi dari kebijakan tersebut ada delapan point, namun ketiga point di bawah dapat mewakili delapan point kebijakan sebagai berikut:

  1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
  2. Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta menigkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga tenaga kependidikan; dan
  3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik. Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, secara deversifikasi jenis pendidikan secara frofesional.

Dari penjelasn tiga poin kebijakan itu, dapat disimpulkan bahwa arah kebijakan pembangunan pendidikan menurut GBHN tersebut adalah untuk mengupayakan pendidikan nasional yang bermutu demi kemaslahatan bangsa. Selain itu, arah kebijakan tersebut bertujuan untuk memudahkan dan mensetarakan pendidikan yang berwatak dan berbudi pekerti.

Jika melihat Undang-Undang Sisdiknas tentang Paradigma Baru Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003, dapat dipetik point-point yang diarahkan sebagai sasaran pendidikan, yaitu;

1. Tentang demokrasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tercantum dalam bab tiga tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan junjungan tinggi hak azazi manusia… dts (ayat 1). Adanya desentralisasi menjadikan pendanaan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1).

  1. Peran serta masyarakat, demokratisasi penyelenggaraan pendidikan harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, oraganisasi profesi, dan organisasi kemasyrakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1).
  2. Tantangan global yang melanda dunia yang mengharuskan pendidikan bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan formal, baik pendidikan yang didirikan pemerintah maupun masyarakat.
  3. Kesetaraan dan keseimbangan antara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat.
  4. Jalur formal, nonformal, dan informal, dengan meniadakan istilah jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
  5. Peserta didik, dengan menempatkan mereka sebagai subyek pendidikan. Hal ini menunjukkan keberpihakan Undang-Undang Sisdiknas kepada peserta didik terutama kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.

Jika kita perhatikan, apa yang digariskan dalam UUD 45 (di bawah) dan disambungkan dengan apa yang termaktub dalam GBHN dan undang-undang Sisdiknas, terjadi adanya degradasi penekanan atas pentingnya moral dan nilai dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan memang menjadi varibel penting dalam urusan demokratisasi dan desentralisasi, akan tetapi, kita pahami bahwa desentralisi yang kita lakukan sekarang ini sangat tidak efektif dan cenderung mubadzir karena harus menghabiskan dana besar yang seharusnya bisa dialokasikan ke ranah pendidikan. Terlebih, tiap daerah di Indonesia mempunyai karakter dan potensi yang berbeda untuk menyokong pendidikan secara baik.

Oleh karena itu, Kementerian Agama dalam hal ini dapat menjadi sebuah garda terdepan guna mendorong kembali mainstream moral dan nilai dalam sistem pendidikan Indonesia. Bangsa Indonesia harus kembali berbasis spiritualisme-religius dalam gerakan pendidikan agama karena bangunan sistem yang ada tidak cocok dengan kondisi nilai dan moral yang menjadi heritage kita sejak lama. Kita dapat mencontoh bagaima jepang bisa bangkit sedemian rupa dan membentuk masyarakat yang terdidik (knowledged society) yang terlahir dari sifat dan sikap sederhana dan akhirnya membentuk menjadi Negara adidaya dengan sumber kekayaan alam yang sedikit.

Di Jepang, fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dapat dicermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum. Pemimpin yang terindikasi korupsi dan karena malu terhadap sanksi sosial yang mereka hadapi, akhirnya bunuh diri untuk menutupi rasa malu mereka.

Contoh kedua adalah sikap anti-konsumerisme; bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di sana, banyak orang ramai antri untuk belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Ternyata, sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup karena supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Sikap ekonomis para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen juga menjadi contoh menarik. Juga, bagaimana orang Jepang lebih memilih naik Densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata Densha swasta lebih murah daripada milik negeri.

Dalam hal “sopan santun dan menghormati orang lain,” masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan atau merugikan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).

Pembentukan manusia yang bermoralitas tinggi merupakan hasil akhir dari inti Pendidikan Agama manapun yang berfungsi sebagai wahana. Kalau di Islam, moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur'an juga sering dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah yaitu al-akhlaq al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah. Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang diridlai Allah. Nilai-nilai universal seperti ini sebetulnya ada dalam tiap agama di Indonesia.

Hal yang penting dari pemahaman yang baik terhadap nilai maupun moral adalah penghayatan dan inilah sebetulnya yang harus menjadi ukuran keberhasilan pendidikan agama di Indonesia. Penghayatan terhadap sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadiannya, menyatu, dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati moralitas berarti semua bentuk moralitas yang telah diketahui itu masuk menjadi bagian dari pribadi dan tidak terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh sesuatu yang telah dihayati itu. Memang, perihal penghayatan ini bukan masalah sederhana karena tergantung dari proses kejiwaan dan proses pendidikan.

Representasi umum dari institusi pendidikan agama sebagai contoh kita bisa angkat satuan pendidikan yang berada di naungan dua ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Nahdlatul terkenal dengan Lembaga Pendidikan Ma’rif sedangkan Muhammadiyah terkenal dengan Majelis Pendidikannya. Dua ormas ini sarat dengan nilai dan moral dalam mengeksekusi satuan pendidikannya. Satuan pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah dalam sejarahnya memang lebih beruntung dibandingkan dengan LP Ma’arif NU dapat dikategorikan maju dalam beberapa hal. Sedangkan LP Ma’arif secara kasat mata masih terus melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Perhatian khusus terhadap nilai dan moral bagi keduanya adalah harga mati bagi pelaksanaan pembentukan karakter anak didik sekolah.

Lembaga Pendidikan Ma’arif NU saat ini masih berkutat dalam hal penataan pola interaksi dengan satuan pendidikannya; penataan berbasis organisatoris dan penataan berbasis nilai. Penataan secara organisatoris memang penting guna meningkatkan kualitas satuan pendidikan contohnya secara manejerial. Di sisi lain, secara sosiologis, masyarakat masih tetap percaya pada satuan pendidikan NU meskipun dalam kondisi manejerial tidak mengikuti induk organisasi. Kenapa hal ini terjadi?. Masyarakat pada umunya masih percaya dan membutuhkan model pendidikan bermutu yang lebih menitikberatkan pendidikan nilai agama seperti Ma’arif NU dengan pemahaman agama yang damai, moderat dan toleran tanpa perlu mempertanyakan bentuk afiliasi organisatoris. Afiliasi terjadi pada ikatan nilai karena diyakini madrasah (atau pesantren pada umunya) memegang teguh pada prinsip agama yang dibawa tokoh NU. Fenomena ini menarik karena kesatuan atas kesamaan moral dan nilai inilah yang berfungsi sebagai pengendali arah satuan pendidikan di lingkungan NU.

Sudah tegas disebutkan di BAB XIII perihal PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Pasal 31 menyebutkan bahwa: 1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Oleh karena itu, seharusnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus berdasarkan sistem nilai dan moral atau spiritualisme-religius (keimanan dan takwa), bukan berpijak pada pendekatan matelisme-kapitalis. Pemerintah jangan takut dengan argumentasi yang didengungkan pihak barat bahwa pendidikan berbasis keagamaan (nilai dan moral) akan menimbulkan sikap fanatisme keagamaan masarakat secara umum. Kita harus berpulang kembali kepada warisan lokal dan budaya lokal yang sudah mendarah daging dalam karakter bangsa kita ini.

Argumentasi untuk membentuk semacam konsep pendidikan nasional secara terpadu sangat baik secara substantip. Pemikiran ini didasarkan atas beberapa pemikiran, di antaranya adalah adanya dikotomi antara dunia pendidikan dengan dunia industri yang seharusnya tidak terjadi, tidak adanya visi ideologis, budaya, politik pendidikan, ekonomi dan politik yang berpihak pemberdayaan manusia Indonesia itu sendiri, intensifikasi konsep pendidikan terpadu secara kelembagaan, dibutuhkannya political will pemerintah yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat sebagai pengelola pendidikan, dan perombakan secara menyeluruh sistem pendidikan secara legal standing agar penyelewengan tidak akan terjadi di sub sistem yang ada. Akan tetapi, jika diintensifikasi melalui kelembagaan satu payung, pertanyaan yang muncul adalah apakah kita siap dengan aspek politis yang siap intervensi di jalur pendidikan ini?. Bisakah terciptanya suatu simbiosis mutualisme antara banyaknya lembaga pendidikan yang berlindung atau didirikan oleh beberapa departemen, misalnya Kementerian Pertahanan memiliki Akabri, Polri dengan Akpol dan sebagainya; Kementerian Agama memiliki lembaga pendidikan agama, Kementerian Keuangan memiliki lembaga pendidikan STAN, Kementerian Dalam Negeri memiliki lembaga pendidikan APMD dan sebagainya?. Meskipun pemikiran pendirian tersebut di satu sisi adalah untuk pemberdayaan sumber daya manusia masing-masing departemen, namun ada analisis lain yaitu sebagai lahan untuk mendapat anggaran lebih besar karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis.

Berdasarkan contoh di atas, pemahaman dan implementasi yang baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal ketiga institusi dan pentingnya relasi hubungan berdasarkan nilai dan moral tadi merupakan modal penting tidak hanya untuk mengembangkan pendidikan agama secara khusus tetapi juga pendidikan umum. Penguatan landasan spiritualisme-religius di dalam segala aspek pendidikan agama bisa dijadikan ujung tombak (spearhead) guna menciptakan peradaban manusia Indonesia yang dapat dibanggakan dan dapat dijadikan contoh sebagai proses dematerialisasi sistem pendidikan nasional secara umum.

Ditulis oleh M Kholis Hamdy sebagai syarat peserta Workshop Strategi Pengembangangan Pendidikan Islam di Hotel Batavia oleh Shihabuddin Institute, 3-4 Februari 2011, utusan dari Yayasana Taman Pendidikan Islam Darul Ulum, Baureno, Bojonegoro, Jawa timur.

Sumber Bacaan:

Ahmadi, A. Pendidikan dari Masa ke Masa, (Bandung: Cetakan Pertama, CV Armico), 1987.

Gerakan Di Zi Gui, Budi Pekerti, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.

Standar Nasional Pendidikan; PP RI no. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dilengakapi dengan penjelasan, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.

Jurnal Ma’arif; Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Edisi XII tahun 2009, (Jakarta, LP Ma’arif NU).

Dawam, Ainurrofiq, DR. MA, Pendidikan Islam Indonesia Kini, http://www.ditpertais.net/swara/warta17-01.asp, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.30.

Rami Satria Wahono, Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Belajar+Dari+Jepang+Membentuk+Komunitas+Terdidik&&nomorurut_artikel=197, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.35.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, http://ibau.bappenas.go.id/data/peraturan/Undang-Undang%20Dasar/UUD%2045.pdf, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.40.

Suryan, S.Pd.I, Relasi Pendidikan Dengan Modernisasi, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=RELASI+PENDIDIKAN+DENGAN+MODERNISASI&&nomorurut_artikel=465, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.35.

Muliani, Masalah Pendidikan di Indonesia, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah+Pendidikan+di+Indonesia&&nomorurut_artikel=364, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.40.

Read More

Beberapa Konsep Dasar Ekonomi Makro dan Politik Pertumbuhan Ekonomi.

“Economy growth must look to the common good and an economy based on ethical foundations must be preoccupied with the raising the well being of all sectors of society.”[1]

Pendahuluan

Ekonomi sebagai praktik keseharian jauh telah ada sebelum ia menjadi sebuah disiplin ilmu. Kegiatan ekonomi manusia sudah berlangsung berabad-abad sebagai upaya kemakmuran oleh manusia. Dalam upaya menyejahterakan diri mereka, manusia secara kontinyu berusaha memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas. Ketidakseimbangan terjadi ketika alat kebutuhan untuk memuaskan keinginan manusia tidak dapat disuplai secara maksimal karena sifat keterbatasannya. Di sinilah yang menjadi titik tekan masalah ekonomi.

Terlepas polemik asal usul ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu baik dari belenggu ideologi keagamaan maupun non keagamaan, pada kenyataannya ilmu ekonomi eksis dan berkembang pesat dalam ranah keilmuan manusia. Perkembangannya tidak terlepas dari buah pemikiran para penggiat ilmu ekonomi, pelaku ekonomi dan peran kuasa pemerintah di dalamnya. Dinamika keilmuan ekonomi sangatlah luas dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari dan memahaminya, terlebih bagi penulis yang notebene bukan penggiat ilmu ini. Tulisan ini sangat rentan terhadap kritik dan merupakan usaha terbatas untuk mematuhi konsensus pemangku kesepakatan kelompok kajian ekonomi. Disorientasi tulisan terhadap tema sandaran; Perspektif Ilmu Ekonomi, sebagai output pun akan nampak dari faktor produksi yang sangat minim; waktu, modal dan tempat (tanah). Kecenderungan isi tulisan pun bukan cerminan dari sebuah kecondongan penulis terhadap pendekatan tertentu, lebih pada faktor praksis saja.

Ekonomi Makro

Pada umumnya ilmu ekonomi dibagi pada 2 ranah keilmuan; ekonomi makro dan ekonomi mikro. Ekonomi makro mempelajari penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas secara agregat. Sedangkan ekonomi mikro fokus terhadap penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas atas dasar kebutuhan individu. Perilaku dalam ekonomi ini difungsikan untuk memenuhi faktor produksi yang ada. Perbedaan di antara keduanya terletak pada siapa economic agent yang memutuskan dan mengarahkan perilaku ekonomi tersebut. Ekonomi makro berkaitan erat dengan kinerja ekonomi suatu Negara dalam hal ini pemerintah. Sedangkan ekonomi mikro keputusan dibuat oleh individu. Yang dimaksud dengan individu di sini dapat berupa pasar, perusahaan dan rumah tangga.[2]

Ada tiga ukuran dalam penilaian keberhasilan suatu Negara dalam mengelola ekonominya secara makro: keluaran, pengangguran dan stabilitas harga. Keluaran atau output berkaitan dengan produksi oleh Negara dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun. Nominal vs riil, nilai vs pertumbuhan,[3] pertumbuhan vs pemerataan dan PDB aktual vs PDB potensial merupakan beberapa ukuran output nasional dari suatu Negara dan sering dalam berupa Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Bruto (GDP) yang notabene adalah nilai dari semua produk akhir, baik barang dan jasa yang diukur dalam mata uang.[4]

Sekedar contoh, total nilai keluaran yang diukur dengan nilai uang pada saat itu disebut dengan PDB nominal, sedangkan PDB riil diukur dengan nilai mata uang konstan. Hal terakhir terkait dengan patokan nilai rupiah (sebagai contoh) di tanggal yang terlebih dahulu telah ditentukan. Fungsi penggunan mata uang konstan bertujuan untuk melihat perubahan PDB dari waktu ke waktu yang terjadi secara riil. Selisih jumlah nilai antara keduanya berfungsi untuk mengetahui perbedaan aktifitas ekonomi secara riil dan efek inflasi atau kenaikan harga.[5]

Pembahasan kedua PDB di atas merujuk pada pengertian nilai mata uang, Untuk mengetahui perkembangan PDB dari waktu ke waktu dikenallah istilah pertumbuhan PDB yang dihitung dengan rumus PDB riil di tahun kedua dikurangi PDB riil tahun sebelumnya serta dikali 100% lalu dibagi PDB riil tahun sebelumnya, maka akan terlihat hasil pertumbuhan PDB sebuah Negara. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak berarti itu bagus bagi suatu Negara apabila hanya segelintir orang saja yang menikmatinya. Oleh karena itu, pemerataan menjadi faktor penting dengan mengukur berapa porsi PDB yang dinikmati 20% penduduk termiskin suatu Negara dan berapa porsi PDB yang dinikmati oleh 20% penduduk terkaya. Apabila kedua angka sama, itu menunjukkan adanya pemerataan ekonomi dalam suatu Negara.[6]

Pemerataan biasanya dikaitkan pada dua hal, yaitu: pendapatan dan asset atau kekayaan. Konsep ideal pemerataan apabila seorang individu memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama dengan individu lain. Di Inggris dan Amerika, pemerataan pendapatan jauh lebih baik dibandingkan dengan pemerataan kekayaan. Sedangkan di Negara berkembang cenderung pada kondisi yang sama, pendapatan dan kekayaan tidak merata. Hubungan keduanya di Negara berkembang sangat erat. Individu yang semakin tinggi tingkat kekayaannya cenderung semakin tinggi pula pendapatannya. Walhasil, kebijakan keduanya sama-sama penting.[7]

PDB aktual merupakan hasil konkret penghasilan suatu Negara. Meskipun dengan jumlah tertera di atas kertas tidak berarti telah menunjukkan PDB secara maksimal yang dapat dihasilkan oleh suatu Negara. Hasil maksimum inilah yang disebut dengan PDB potensial, merupakan tingkat keluaran maksimum yang dapat dihasilkan secara berkelanjutan dan sangat tergantung pada faktor produksi yang efisien dan teknologi yang produktif. Ukuran penggunaan yang sederhana adalah dengan memperhatikan tingkat penggunaan buruh atau tingkat pengangguran. Bila tidak ada pengangguran, maka tidak ada penambahan waktu kerja, berkonsekuensi pula pada tidak ada peningkatan PDB. Ukuran adanya pengangguran sebesar 5% dari total populasi Negara sudah dianggap tidak ada pengangguran (full employment). [8]

Tingkat pengangguran menjadi ukuran kedua ekonomi, tinggi rendah angkanya mencerminkan sukses atau kegagalan dalam pembangunan dan tingginya pengangguran menyebabkan keluaran ekonomi tidak mencapai tingkat maksimum atau tingkat potensial. Tidak adanya sumber pendapatan (income) untuk kehidupan akan berdampak pada munculnya permasalahan psikologis dan sosial. Ukruan selanjutnya dari keberhasilan ekonomi makro adalah stabilitas harga. Argumen bahwa ekonomi yang baik apabila tidak ada kenaikan harga, atau inflasi sama dengan nol. Hal ini tidak sepenuhnya benar, terkadang dalam kasus tertentu mendorong perkembangan ekonomi seperti infalsi sebesar 3% yang pernah dialami bangsa Indonesia dan belum pernah terjadi semenjak kemerdekaan. Inflasi rendah secara umum masih bisa diterima Di satu sisi, meningkatnya harga akan menggenjot perusahaan atas produksi yang menghasilkan keuntungan bagi perusahaan karena peningkatan biaya produksi tidak secepat kenaikan harga, bertambahnya harga produk juga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Di sisi lain, inflasi rendah menyebabkan daya beli masyarakat juga menurun walaupun tidak signifikan.[9]

Politik Pertumbuhan Ekonomi

Istilah politik pertumbuhan ekonomi memang bukan hal sering kita dengar atau kita lihat di Indonesia, padahal terma ini menjadi sangat penting dalam dunia akademisi dan praktisi ekonomi di luar negeri. Jika anda mencari di “mbah” google, hanya kalimat pertumbuhan ekonomi dan ekonomi politik yang menghiasi layar monitor komputer atau laptop anda. Meskipun ada satu dua tentang teori pertumbuhan, namun unsur politik hanya menjadi sisipan struktur pembahasannya. Apakah ini petanda dari sebuah skema penjajahan diskursus ekonomi di Indonesia, masih perlu penelitian untuk pertanyaan tersebut. Mungkin juga, karena keterbatasan penulis, memang ada karya yang mengupas habis pertarungan ideologi dalam dunia perekonomian di Indonesia. Walhasil, banyak penelitian dan tulisan yang kita bisa akses di Internet soal politik pertumbuhan ekonomi di pelbagai Negara, mulai dari studi politik pertumbuhan ekonomi di era the great depression tahun 1929, masa kebangkitannya di Amerika dan paska perang dunia ke-2, hingga tulisan kontemporer mengenai pertumbuhan ekonomi drastis di India dan China.

Awalnya, ekonomi politik merupakan studi tentang kondisi di mana produksi atau konsumsi yang dalam parameter terbatas dan diselenggarakan oleh bangsa dan negara. Dengan hal ini, ekonomi politik memperluas penekanan makna kata ekonomi, yang berasal dari bahasa Yunani oikos berarti "rumah" dan nomos; "hukum" atau "order"; sehingga ekonomi politik dimaksudkan untuk mengungkapkan hukum-hukum produksi kekayaan di tingkat negara bagian. Kata politique économie (diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai political economy) pertama kali muncul di Perancis pada tahun 1615 dalam buku terkenal karangan Antoine de Montchrétien: Traité politique de l'Economie. Physiokrat Perancis, Adam Smith, David Ricardo dan filsuf Jerman Karl Marx adalah beberapa eksponen ekonomi politik. Pada 1805, Thomas Malthus menjadi profesor pertama Inggris di bidang ekonomi politik di East India Company College, Haileybury, Hertfordshire. Pada tahun 1763, Guru besar pertama di dunia dalam ekonomi politik diberikan di Universitas Wina, Austria kepada Joseph von Sonnenfels sekaligus dinpbatkan sebagai profesor tetap pertama.[10]

Ekonomi politik merupakan istilah untuk mempelajari produksi, membeli dan menjual, dan hubungannya dengan hukum, adat, dan pemerintah, serta distribusi pendapatan nasional dan kekayaan, termasuk melalui proses anggaran. Politik perekonomian berasal dari filsafat moral. Yang berkembang di abad ke-18 sebagai studi tentang ekonomi Negara dan kebijakan, makanya disebut ekonomi politik. Pada akhir abad kesembilan belas, istilah 'ekonomi' datang untuk menggantikan 'ekonomi politik', bertepatan dengan publikasi dari sebuah buku berpengaruh berjudul Principles of Economy oleh Alfred Marshall pada tahun 1890. William Stanley Jevons, seorang penganjur metode matematika diterapkan pada ekonomi, menganjurkan kata 'ekonomi' sebagai ringkasan dengan harapan istilah tersebut menjadi "terma yang diakui sebagai ilmu pengetahuan," di dalam bukunya “The Theory of Political Economy.”[11]

Pendekatan kontemporer memandang ekonomi politik pada studi interdisipliner pada ekonomi, hukum, dan ilmu politik dalam menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga politik, lingkungan politik, dan sistem-kapitalis ekonomi, sosialis, dicampur-mempengaruhi satu sama lain. Topik tradisionalnya meliputi pengaruh pemilu pada pilihan kebijakan ekonomi, penentu hasil pemilu, siklus bisnis politik, independensi bank sentral, konflik redistributif dalam kebijakan fiskal, dan politik reformasi tertunda di negara berkembang dan defisit berlebihan. Dari tahun 1990-an, dieksplorasi studi diperluas seperti pada asal-usul dan laju perubahan lembaga-lembaga politik, dan peran budaya dalam menjelaskan capaian ekonomi dan pertumbuhan. Secara lebih sempit ditafsirkan sebagai analisis kebijakan publik seperti monopoli, perlindungan pasar dan korupsi kelembagaan.[12]

Di dalam bukunya, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, Robert M. Collins menjelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi menjadi pusat dan faktor penentu kebijakan publik pemerintah Amerika setengah abad paska perang dunia ke-2. Di era The Great Depression di Amerika, ada tiga kekuatan yang bertarung untuk penentuan arah pertumbuhan ekonomi amerika serikat: 1. Kelompok agraria dari selatan yang mengadakan symposium bertemakan “I’ll Take My Stand: The South and the Agrarian Tradition” dan membahas pertumbuhan, industrialism dan materialism, lalu menolak kepercayaan terhadap dengan mesin besar akan menghasilkan penghasilan yang besar pula. Mereka ini dikategorikan sebagai kelompok konservatip dan dikenal sebagai gerilyawan agrarian dan menganggap konsep growth dan moreness adalah ide gila. Mereka berpegang teguh pada prinsip “tidak akan pernah mengakui bahwa tugas manusia hanya untuk meningkatkan produksi materi saja dan bahwa tingkat derajat kebudayaan diukur dengan volume produksi materi,” namun,pada akirnya mereka tersingkir.[13]

Kelompok kedua terdapat pada gerakan teknokrasi berasal dari tumbuh dari ide-ide Howard Scott, seorang insinyur eksentrik dari Greenwich Village. Scott pernah bertugas untuk sementara waktu sebagai konsultan untuk Radical International Worker di bawah naungan Serikat Pekerja Dunia. Dia percaya bahwa sistem artifisial kapitalisme telah menciptakan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, akibatnya, kemajuan teknologi dan peningkatan produksi

hanya menghasilkan pengangguran dan hutang saja. Mereka beranggapan bahwa

untuk menggantikan sistem harga lama dengan yang baru berdasarkan energi, daripada emas. Meskipun sempat mendapatkan sorotan dari politisi, pelaku bisnis dan gangster, bahkan sempat diangankan sebagai “langkah pertama revolusi filsafat di Amerika.” Kehadirannya yang cepat seiring dengan lenyapnya.[14]

Kelompok ketiga adalah Mississippi Industrial Commission yang mengenalkan program “Balance Agriculture with Industry” yang bererwenang penggunaan obligasi daerah untuk membangun pabrik bagi perusahaan yang berkomitmen untuk tenaga kerja lokal dan memberikan jaminan gaji. The Mississipi Program perlahan-lahan menampakkan hasil dan walaupun kemudian menghasilkan upah rendah, pekerjaan non-union di tekstil padat karya dan pakaian,gagasan itu menyebar ke negara tetangga dan kemudian, setelah perang, mendapat tempat di hati Negara-Negara bagian selatan sebagai negara terpaksa ke pelbagai peningkatan subsidi public untuk mendapatkan perkembangan yang signifikan.[15]

Dinamika politik pertumbuhan ekonomi terekam dengan jelas dalam studi ini, meskipun dengan digelontorkannya kebijakan New Deal of Economics yang berkesan “hati-hati,” aspek pertumbuhan tetap menjadi orientasi sebagai bagian integral sistem kapitalis yang dianut Amerika Serikat. Pelbagai kebijakan moneter diberlakukan untuk secara marathon dan pertumbuhan ekonomi digenjot dengan berdirinya beberapa lembaga, baik keuangan maupun institusi bisnis sehingga dalam kurun waktu satu tahun saja tingkat pertumbuhan ekonomi di tahun 1930 sudah hampir sama dengan tahun 1929, di saat depresi ekonomi mulai.

Di satu sisi, kebijakan ekonomi memberikan harapan bagi perkembangan perekonomian Amerika. Akan tetapi, di sisi lain, banyak suara pesimistik menghiasi kehidupan rakyat Amerika pada umumnya. Hal ini bisa terekam dari ucapan para tokoh dari dua sudut pandang terhadap masa depan ekonomi Amerika; Herbert Hoover dan Franklin D. Roosevelt. Herbert menyatakan “saya tidak takut akan masa depan negeri ini, negeri yang cerah dengan harapan-harapan,” sedangkan Franklin berujar “bagi saya kemungkinan bangunan fisik ekonomi tidak akan berekspansi sehebat masa lalu, kita bisa saja membangun lebih banyak pabrik, tapi faktanya kita mempunyai lebih dari cukup dari kebutuhan domestik.”[16]

New Deal of Economy berorientasi pada pemulihan, keseimbangan dan ketahanan ekonomi dan berkarakter stagnan dan ekonomi berkekurangan. Ketika pendekatan rem laju ekonomi sudah berjalan dan kondisi ekonomi mulai sedikit stabil, muncullah doronga-dorongan untuk merubah arah kegiatan ekonomi yang lebih liberal. Ini dilakukan oleh partai republic yang menganggap kebijakan Franklin yang notabene dari partai democrat tidak lebih hanya sekedar public investment bukan karakter Negara kapitalis. Program-program seperti National Recovery Administration (NRA), Agriculture Adjustment Administration (AAA), Reconstruction Finance Cooperation (RFC) mulai mendapat kritik tajam dari lawan politik Franklin. Malah ia menambah investasi publik di pengembangan tanaga listrik, maka muncullah perusahaan seperti Tennessee Valley Authority (TVA) dan Rural Electrification Administration guna menyokong usaha ekonomi ke wilayah selatan.[17]

Pada tahun 1938, muncul partai baru yang didirikan berdasarkan filosofi pertambahan produksi oleh Phil La Follette, seorang gubernur Wisconsin. Lambang X di bendera partainya merepresentasikan multiplikasi kekayaan bukannya pengurangan.[18] Kegelisahan para expansionist bertambah ketika Franklin memutuskan komitmennya kepada kebijakan 1 per 3 rakyatnya yang serba kekurangan; sandang, pangan dan papan meskipun akhirnya ditolak oleh kongres. Kebijakan-kebijakan dan identitias a la state cartelism dan state capitalism inilah yang oleh penulis sendiri sebut sangat ambigu. Di Penghujung akhir 1930an hingga meletusnya perang dunia ke-2, ekonomi Amerika kembali berorientasi ekspansi dan kapitalistik dan kebijakan New Deal dianggap sebagai dasar ekspansi ekonomi Amerika di era perang dunia ke-2.

Penutup

Ada beberapa catatan pribadi penulis dapat dari usaha penulisan, pemahaman dan refleksi:

1. Pengelolalaan ekonomi makro yang baik suatu Negara sangatlah penting terlepas dari orientasi ideologis ekonomi dan dampak tertentu dari perspektif ekonomi tertentu.

2. Sejarah mencatat corak ekonomi Indonesia yang dinamis merupakan bukti bahwa peran politik sangat berpengaruh dalam menentukan arah perekonomian Negara.

3. Peran akademisi ekonomi sangatlah kurang dalam membahas secara mendalam studi politik pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terlepas dari indikasi adanya setting bangunan keilmuan ekonomi di Indonesia.

4. Untuk Negara sekapitalis Amerika pun mampu dan berani “menyeleweng” dari dogma ekonomi mereka ketika sebuah situasi darurat memaksa Negara intervensi hingga jauh ke dalam urusan ekonomi bahkan hingga sekarangpun Amerika masih melakukan beberapa proteksi terhadap produk domestik mereka.

5. Stabilnya iklim politik sangatlah penting ketika perbaikan dari reses ekonomi menjadi focus utama dimana selama masa the great depression, hampir seluruh kebijakan pemerintah dalam mengurai krisis ekonomi mendapat persetujuan dari kongres.

Tinjauan Pustaka

Collins, Robert M. (200). The Politics of Economic Growth, in Postwar America., Oxford: Oxford University Press.

Djohanputro, Bramantyo MBA, Phd. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (2005), Jakarta: Penerbit PPM.

Wikipedia, Political Economy,

http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22 Januari 2011, pukul 01.30.

Youtube,http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True, diakses pada 22 Januari, pukul 01.00 WIB.

[1] Salah satu kutipan ucapan Benedict XVI ketika menerima duta besar Korea Selatan, Han Hong-Soon, untuk Negara Vatikan, http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True, diakses pada 22 Januari, pukul 01.00 WIB.

[2] Bramantyo Djohanputro, MBA, Phd., Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (Jakarta: Cetakan 1, Penerbit PPM), 2005, hal. 11.

[3] Selain mendefinisikan terma ini dengan PDB baik yang nominal maupun riil, para ekonom menggunakannya untuk membedakan dengan istilah ekspansi ekonomi (economic expansion) yang berarti meningkatnya kapasitas yang ada, Sedangkan pertumbuhan melibatkan meningkatnya kapasitas produksi ekonomi itu sendiri. Secara umum pertumbuhan diartikan peningkatan dalam semua hal; aktifitas ekonomi, meningkatnya produksi dan meningkatnya konsumsi. Selain itu, definisinya berkonotasi dengan hal teknologi, industrialism, matelialisme dan konsumerisme. Robert M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, (Oxford University Press), 2000, hal. 1. Luasnya definisi inilah yang diindikasikan penyebab The great depression di Amerika berujung kebijakan the new deal of economic dan menjadi dasar terlibatnya Amerika di Perang dunia ke-2. Ibid, hal 9.

[4] Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, hal.13-14

[5] Ibid, hal 14,

[6] Ibid 17.

[7] Ibid hal, 17-18

[8] Ibid, 18.

[9] Robert M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, (Oxford University Press), 2000, hal. 19-20.

[10] Wikipedia, Political Economy, http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22 Januari 2011, pukul 01.30.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] The Politics of Economic Growth, in Postwar America, 2000, hal. 1-2.

[14]Ibid hal. 3.

[15]Ibid, 2-3.

[16] Ibid hal 4.

[17] Ibid, hal. 8.

[18] Ibid. hal. 8-9

Corat-coret persyaratan diskusi di Forum Diskusi Ekonomi Ciputat

Read More

Trust, Jumping Economy and Rental Economy

Pengembangan dari diskusi Forum Diskusi Ekonomi dengan Bapak Penny di FE UIN.

Diskusi dengan Pa Penny berjalan dengan dinamis dan menarik. Meskipun, durasi bicara beliau agak terlalu lama. Namun, ada beberapa terma baru yang masih menggantung di pikiran yang memaksa untuk sedikit memahaminya yang sebenarnya tidak terlalu terasa asing di telinga, yaitu: 1. Trust, 2. Jumping economy, 3. Rental Economy.

Ekonomi global modern bergantung pada pembagian kerja dan asas kepercayaan yang menembus belahan dunia manapun. Adam Smith, bapak ekonomi modern, berpendapat kekayaan itu dibangun atas pembagian kerja. Dia memberi contoh terkenal dari pabrik peniti di mana satu pekerja mengeluarkan kawat peniti, ada yang memotong, lalu ada yang membuat bagian kepala, lalu ditajamkan dan sebagainya. Pabrik peniti ini tidak akan memproduksi apapun jika para pekerja tidak bisa saling percaya dengan tugas mereka masing-masing. Dengan kata lain, kekayaan sama dengan trust atau kepercayaan.

Trust merupakan kata dari bahasa Inggris yang memiliki beberapa arti dan makna. Seperti Bahasa Inggris secara umumnya pasti memiliki relasi sejarah yang dengan beberapa bahasa lain seperti, Yunani, Perancis, Latin, Jerman dan terkadang Belanda; terlalu kompleks untuk ditelusuri satu per satu. Kata trust jika dilihat sebagai kata benda berarti kepercayaan, bisa berarti pula keyakinan, perserikatan, harapan, tanggung jawab, persekutuan, penjagaan, piutang dan kredit. Sebagai kata benda berarti mempercayai, berharap, percaya atas/kepada, menaruh kepercayaan kepada dan menghutangi. Sedangkan dilihat sebagai kata sifat berarti sesuatu yang berkenaan dengan persekutuan, berkenaan dengan perserikatan dan yang dipercayakan.

Jika dilihat dari perspektif ilmu ekonomi, trust ini memiliki dua makna; satu sebagai asas kepercayaan dalam berperilaku ekonomi, kedua; prilaku ekonomi itu sendiri terkait dengan jual-beli, dana pinjaman, hutang piutang, kredit, dsb. Contoh sederhana dari dari yang pertama adalah bayangkan jika anda pergi ke toko untuk membeli sekotak susu, tapi mendapati lemari es tampat susu itu terkunci. Jika anda berhasil membujuk pemilik toko untuk mengambil susu, anda mungkin akhirnya akan berpikir mengenai apakah anda akan menyerahkan uang terlebih dulu, atau pemilik toko yang akan menyerahkan susu terlebih dahulu. Karena tidak adanya rasa kepercayaan di antara keduanya; aktivitas jual-beli pun terganggu. Contoh lain dari trust sebagai asas kepercayaan bagaimana orang Cina berprilaku ekonomi.

Salah satu kunci sukses bisnis etnik China baik yang tinggal di negerinya sendiri maupun di perantauan adalah kuatnya eksistensi saling percaya (trust) pada tingkat individu dan adanya guanxi, sebagai pelindung dari lemahnya kelembagaan publik. Dalam sejarah China, kepercayaan kepada uang kertas telah mengalami berbagai ujian terkait dengan naik-turunnya kondisi ekonomi dan politik. Dalam hubungan ini menjadi wajar bila hanya sedikit saja anggota masyarakat yang percaya terhadap birokrasi dan struktur hukum ketika aksi kedua lembaga ini tidak menyiratkan kepercayaan dan perlindungan hak individu serta transaksi bisnis. Akibatnya lembaga formal tidak pernah mendapat kepercayaan masyarakat.

Dalam konteks seperti ini guangxi tidak hanya memberi ruang bagi ekspresi hubungan pribadi antar-pelaku bisnis yang dikombinasikan dengan karakter pribadi (trait) dan kesetiaan (loyalty), namun juga merupakan sebuah bentuk pertukaran sosial berdasarkan sentimen primordial dan emosi budaya yang ditandai dengan saling percaya. Ketika seseorang berhutang kepada sesama pelaku bisnis, pembayarannya tidak semata-mata tepat waktu dan sesuai perhitungan (pokok plus bunga) namun dalam transkasi seperti ini terkandung pula ikatan sosial yang seringkali di luar rasional ekonomi. Selalu ada unsur non-ekonomi (intangible goals) seperti motivasi politik, kekuasaan, meraih status tertentu, dan lain sebagainya dalam transaksi yang bernafaskan guangxi. Sebaliknya, jika seseorang melakukan pelanggaran atas komitmen yang terbangun dalam semangat guangxi, maka dengan mudah citra negatif akan tersebar dan habislah masa depan bisnisnya.

Jaringan guangxi terwujud karena berbagai latar belakang, ada yang karena memiliki kesamaan asal daerah (qingqi), teman satu alumni (tongxue), sahabat ketika di perguruan tinggi (tongshi), atau karena ada kesamaan minat (tonghao). Melihat latar belakang terbentuknya, perlu dicermati bahwa guangxi tidak identik dengan kekeluargaan (familialisme) dan paternalism. Guangxi lebih mentik –beratkan pada adanya tata aturan tidak tertulis (unwritten codes) yang melindungi perilaku oportunistik anggotanya. Menyusul perubahan kebijakan ekonomi China, banyak perantau yang telah sukses di berbagai negara, karena guangxi, mereka kembali dengan membawa investasi untuk membangun tanah leluhur.

Ada yang menganalisa trust sebagai harapan bersama dalam suatu kelompok atau komunitas perilaku usaha, yang didasarkan pada norma-norma sosial bersama, seperti timbal balik dan reabilitas. Ada dua pertanyaan yang muncul terkait dengan trust ini. Pertama, mengapa hal itu muncul, kedua; bagaimana cara ia berevolusi?. Setidaknya ada dua pendekatan untuk menjawab pertanyaan pertama. Manusia adalah makhluk moral yang memiliki nilai-nilai dasar yang dapat dipercaya dan bersifat menyebar dan secara rasional dapat menimbulkan kepercayaan antar sesama. Pendekatan kedua menekankan potensi keuntungan bersama menghindari praktik keuntungan pribadi yang eksploitatip. Meskipun terjadi kritik atas pandangan bahwa tidak semua orang mau mengikuti aturan moral yang berlaku, kritik tersebut bisa teratasi dengan menjawab pertanyaan kedua karena keduanya bersifat saling melengkapi.

Evolusi terjadi jika ada titik temu motivasi individu rasional (suatu mesin tindakan, dalam kata-katanya) dengan struktur sosial yang ada. Trust dan perilaku yang dapat dipercaya hanya rasional jika potensi penyimpangan telah diukur. Untuk ini, diperlukan norma-norma sosial yang efektif untuk berkembang, yang mengikat perilaku. Ada yang menyatakan bahwa norma ini bertindak sebagai “instrumen penghalang dari self-intrest” dan “mengubah biaya dan manfaat dari bekerja sama agar tidak terjadi dilemma-dilema yang tidak diinginkan.”

Baik trust maupun reabilitas harus berdasarkan penilaian moral serta penilaian objektif kerjasama sebagai instrumen untuk memperoleh keuntungan ekonomi bersama. Dengan kata lain, keuntungan, baik materi nilai-nilai internal dan eksternal menjadi pertimbangan biaya-manfaat investasi dalam norma-norma usaha dan trust tersebut. Tetapi bagaimana norma itu muncul dan menghasilkan kepercayaan interpersonal? Di satu sisi, harus ada keyakinan bahwa trust itu bermanfaat untuk setiap stakeholders yang terkait dengan usaha anda: nilai tambah dari perilaku kerjasama ini harus lebih besar daripada nilai kurangnya. Ini penting untuk menentukan tingkat kepercayaan yang akan memiliki pada orang lain. Di sisi lain, anda sendiri pun harus dapat dipercaya. Dengan demikian, perilaku seperti ini akan bertahan.

Trust sebagai perilaku ekonomi terfokus pada mencari keseimbangan yang tepat antara membangun kepercayaan melalui keterbukaan, perlindungan kepentingan dari penipuan, hilangnya informasi rahasia, vandalisme, pencurian yang dilakukan karyawan dan terutama bentuk kerugian ekonomi. Ini penting terutama bagi perusahaan yang ingin membangun citra yang dapat dipercaya. Dalam konteks transaksi bisnis, trust berhubungan dengan relasi antara pihak yang berbeda, waktu yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara hubungan, pertukaran asset wujud/tidak berwujud tukar dan bagaimana dapat bertukar bisa dilakukan lebih aman. Interaksi klasik yang konkret dilakukan dengan pendekatan tatap muka yang memberikan pelaku pilihan interaktivitas, visibilitas, dan informasi sosial. Tetapi, sekarang, interaksi tatap muka tergantikan dengan mediasi interaksi teknologi dan konsekuensinya adalah kepercayaan menjadi isu utama karena fakta bahwa kepercayaan yang rendah berarti interaksi mahal (baik dari segi ekonomi dan manusia) dan karena kemampuan membangun hubungan kepercayaan dan evaluasi sekarang ini mengandalkan hanya pada interaksi elektronik melalui Internet.

Pemahaman trust sebagai keberhasian maupun kegagalan usaha kegiatan kredit untuk orang miskin dapat dilihat dari sejarah. Pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, Jerman terkenal dengan solusi kelembagaan dalam memberikan kredit bagi masyarakat miskin. Koperasi kredit Jerman berkembang di negara itu dan menjadi model untuk lembaga-lembaga serupa di banyak tempat lainnya. Akan tetapi, di Irlandia, transplantasi seutuhnya koperasi kredit a la Jerman tidak menuai keberhasilan. Meskipun berdasarkan pola yang dikembangkan Jerman; model dan didukung oleh berbagai organisasi swasta dan pemerintah, kredit Irlandia koperasi mengalami stagnasi setelah awal mereka pada tahun 1894. Sedangkan di Amerika Serikat, upaya kelembagaan untuk memberikan kredit kepada orang miskin dilakukan dengan pelbagai model dan belum memberikan hasil maksimal yang diharapkan.

Gagasan bahwa kredit dalam layanan tertentu, atau keuangan yang lebih umum, merupakan bagian penting dari masalah kemiskinan kembali setidaknya akhir abad 18 dan awal 19. Pada saat itu reformis sosial di Eropa mulai advokasi lembaga khusus tabungan bagi masyarakat miskin.

Ada dua motivasi gerakan reformis dengan pendekatan ini; pertama dalam rangka menghilangkan kebiasaan buruk dengan gerakan hemat, yang dianggap dapat mempromosikan gaya hidup stabil, mendorong masyarakat miskin untuk membuat tabungan sebagai buffer terhadap pendapatan tidak teratur mereka. Kedua, untuk mengurangi beban fiskal kemiskinan dengan membantu masyarakat miskin untuk membantu diri mereka sendiri. Akhirnya, hingga pertengahan abad 19, para reformis di beberapa Negara eropa masih mengindifikasi kredit sebagai masalah serius ekonomi saat itu.

Para ekonom saat ini cenderung menekankan kebutuhan masyarakat miskin dengan kredit cara untuk mengelola pendapatan yang tidak teratur dan masalah sosial seperti pengangguran dan penyakit. Pinjaman sebaiknya ditekankan untuk usaha produktif dan kredit untuk tujuan konsumsi itu harus dihindari. Kredit untuk orang-orang miskin dan tetap bermasalah karena pada ranah mekanisme informasi dan sanksi digunakan untuk mendukung pinjaman kepada masyarakat miskin yang tidak berjalan dengan baik. Sebagian besar pinjaman kepada orang miskin relatif kecil, yang berarti bahwa biaya investigasi dan pemantauan relatif lebih besar dari pada pinjaman itu sendiri. Orang miskin mungkin juga peminjam bermasalah karena alasan lain, seperti gaya hidup yang semerawut dan pendapatan yang tidak teratur. Asumsi masalah dasarnya adalah tidak adanya aset untuk jaminan. Individu manapun yang mengambil resiko aset mereka sebagai jaminan tidak ada akan meminjam jika tidak mampu untuk mengembalikannya. Jika mereka tidak mampu membayar kembali pinjamannya, aset mereka pun akan disita.

Biasanya, sebuah bank memberikan pinjaman jika sang peminjam tidak hanya memiliki jaminan (collateral) tapi juga character, capital, capacity dan condition yang dipandang layak; ini dikenal dengan istilah 5C. Namun, Muhammad Yunus memberikan perlawanan terhadap mainstream ini berdasarkan keprihatinan mendalam atas ketidakberdayaan ekonomi dan permasalahan kemiskinan yang terjadi di Bangladesh. Grameen Bank terlahir sebagai sebuah alternatif pemberdayaan ekonomi mikro kelompok miskin di Bangladesh pada tahun 1976. Yunus dan Grameen Bank menyalurkan kreditnya sebagai usaha pemberdayaan dengan memberikan kredit kepada wanita dalam nilai yang kecil dan tidak menggunakan jaminan sama sekali. Keutamaannya memilih wanita karena ia menganalisa bahwa perempuan memiliki komitmen lebih besar untuk mengatasi permasalahan keluarganya. Perempuan-perempuan ini meminjam uang lalu berusaha memakainya sebagai modal kerja untuk menjaga agar asap dapur rumah mereka tetap mengepul, dan membiayai sekolah anak-anak mereka. Tidak seperti laki-laki yang lebih egois yang memakai uang kebanyakan untuk kepentingan mereka pribadi.

Salah satu target utama dari kredit yang diberikan Grameen adalah mereka yang tak memiliki tanah. Karena kelompok masyarakat dalam kategori tersebut sama sekali tidak memiliki akses untuk mendapatkan kredit. Hingga saat ini, Grameen Bank telah mampu melayani hampir 50% penduduk miskin di Bangladesh. Hinga 13 desember 2006, Grameen Bank mencatat sebanyak 1.074.939 kelompok di seluruh bangladesh telam mampu dilayaninya. Total kredit yang diberikannya mencapai US $ 5,887.52 pada bulan november dan dikembalikan hampir 98.97%. Bermodalkan kepercayaan kepada kelompok rentan dalam hal ini masyarakat miskin, Grameen Bank telah membantu Bangladesh untuk keluar dari lembah kemiskinan.

Muhammad Yunus menolak strategi-strategi yang dikemukakan oleh Bank Dunia bahwa untuk bisa mengatasi kemiskinan masyarakat miskin harus dididik. Baginya yang mereka butuhkan adalah kesempatan dimana mereka bisa mengoptimalkan kemampuan yang sudah mereka miliki. orang miskin jangan dilihat sebagai masyarakat malas dan tidak mau bekerja. Mereka hanya tidak memperoleh kesempatan saja, yang bila diberikan akan membuat mereka menghasilkan kinerja yang tak kalah produktif.

Muhammad Yunus dan Bank Grameennya merupakan contoh nyata aktualisasi nyata dari trust sebagai asas kepercayaan dan perilaku ekonomi (pinjaman). Tulisan ini hanyalah serpihan dan tidak dapat merangkum semua hal terkait terma trust karena term ini sangat ekspansip perkembangan kajiannya. Semoga bermanfaat.

Bersambung…

Jakarta, 11022011.

Sumber bacaan:

Gert-Jan M. Linders, Henri L.F. de Groot and Peter Nijkamp, Economic Development, Institutions and Trust; Department of Spatial Economics Vrije Universiteit De Boelelaan, May, 2004.

Theodosios Tsiakis, The Economic Notion of Trust, Department of Economic Studies, University of Thessaly International Journal of Security and Its Applications, Vol. 4, No. 2, April, 2010.

Timothy W. Guinnane, Trust: A Concept Too Many, Center Discussion Paper NO. 907, Yale University, February 2005.

Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Di Balik Sukses Ekonomi China dan India, Sebuah makalah Mahasiswa S3, Manajemen Strategi, Sekolah Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, tanpa tahun.

http://translate.google.co.id/#en|id|Trust

http://glossary.econguru.com/economic-term/trust

http://www.forbes.com/2006/09/22/trust-economy-markets-tech_cx_th_06trust_0925harford.html

Belajar Mengembangkan Ekonomi Mikro dari Muhammad Yunus, http://gilangwhp.wordpress.com/2007/06/07/belajar-mengembangkan-ekonomi-mikro-dari-muhammad-yunus/, diakses pada tanggal 10 Februari 2011, jam 00.05.

Read More