Minggu, 24 April 2011

De-materialisasi Sistem Pendidikan Nasional Melalui Sistem Pendidikan Agama di Indonesia

“Knowledge is power, and character is more”

Apa yang ada dalam pikiran kita ketika memandang kondisi bangsa kita ini secara umum baik berdasarkan pengalaman empirik keseharian dengan kacamata peran dan fungsi kita di tatanan masyarakat baik secara mikro maupun makro, maupun berdasarkan media massa yang setiap hari kita dicekoki dengan berita-berita yang sebagian besar bernuansa negative?. Respon yang biasanya muncul, secara pribadi, akan berupa rentetan pertanyaan pula semisal; apa masalah sebenarnya dari bangsa kita? mengapa ini harus terjadi? Kekayaan alam apa yang sebenarnya tidak kita miliki untuk membangun bangsa yang berperadaban dan patut dibanggakan, dsb. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya akan melahirkan jawaban-jawaban personal yang kita yakini sebagai jawaban kita sendiri untuk permasalahan yang ada. Dilihat dari perspektif ekonomi, produk (output) suatu jasa atau barang tergantung dari faktor produksi seperti modal, tanah dan tenaga kerja. Kesediaan dan manejemen yang baik dari faktor produksi tersebut akan melahirkan produk barang atau jasa yang baik pula. Jika kita asumsikan, sebagai manusia, adalah output, sumber dan faktor produksi apa saja yang membentuk kita seperti sekarang ini?.

Secara umum, setidaknya ada empat hal yang membentuk manusia hingga mencapai kemampuan maksimal: 1. Rumah, 2. Pendidikan, 3. Lingkungan, 4. Pengalaman keseharian. Dari keempat hal tersebut dapat dikategorikan menjadi dua kelompok berdasarkan sumber produksi yang bersifat bentukan primer (primary engineered) dan sumber produksi bentukan sekunder (secunder-engineered). Dua hal pertama termasuk dalam kategori bentukan primer karena sifatnya yang terkonsentrasi dan dua hal terakhir masuk dalam kategori sekunder karena lebih kompleks. Faktor produksi bisa direpresentasikan dengan SDM (peserta didik dan pendidik), modal (anggaran pemerintah untuk pendidikan, tanah (infrastruktur) dan manejemen dari faktor produksi tersebut. Satu aspek yang menjadi sangat perhatian baik secara mikro (individu), mezzo (komunitas), makro (pemerintah) adalah pendidikan. Pendidikan terkadang selalu menjadi alasan biang keladi dari output (SDM; manusia) yang tidak sesuai harapan.

Pendidikan berfungsi menyiapkan sumber daya manusia untuk membangun peradaban. Apa jadinya bila peradaban yang baik tidak dibarengi dengan usaha pengembangan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila tidak memberikan sumbangsih secara moral, pasti akan berdampak pada degrasi karakter bangsa yang terpuruk seperti sekarang ini. Jika kita ingin membangun masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi ada baiknya kita harus kembali ke “akar” dari skema pendidikan yang telah digariskan oleh Undang-Undang 45 dan nilai lokal (indigenous values). Akar ini harus selalu berfungsi sebagai landasan gerak arah pemgembangan pendidikan di Indonesia; khususnya pendidikan agama. Penekanan ini sebenarnya sudah ditegaskan dalam UUD 45 Amandemen ke-4. Faktor dominan dalam konstitusi kita terkait sistem pendikan nasional adalah pendidikan nilai dan moral; agama.

Dilihat dari perspektif sejarah, Pendidikan agama yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pendidikan meunasah atau dayah, surau, dan pesantren diyakini sebagai salah satu pendidikan tertua di Indonesia. Pendidikan ketiga institusi di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal. Secara fungsional trilogi sistem pendidikan terebut dijadikan sebagai wadah untuk menggembleng mental dan moral di samping wawasan kepada para pemuda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Secara substansial dapat dikatakan bahwa trilogi sistem pendidikan tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual dan religius dari para tengku, buya, dan kyai yang tidak didasari oleh motif materiil, akan tetapi murni sebagai pengabdian kepada Tuhan dan masyarakat. Secara operasioanal trilogi sistem pendidikan tersebut muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai kebijakan, proyek apalagi perintah dari para sultan, raja, atau penguasa. Secara mekanikal bisa dipahami dari hasil pelacakan historis bahwa trilogi sistem pendidikan di atas tumbuh secara alamiah dan memiliki anak-anak cabang yang dari satu induk mengembang ke pelbagai lokasi akan tetapi masih ada ikatan yang kuat secara emosional, intelektual, dan kultural dari induknya.

Sejarah pendidikan Indonesia mencatat pertarungan sengit antara mainstream pendidikan yang disebut modern yang diciptakan penjajah dengan mainstream pendidikan tradisional asli pribumi. Sejak itulah aspek ideologi manusia sebagai pribumi terjadi perubahan untuk mengikuti ideologi materialisme-kapitalis beralih dari ideologi spiritualisme-religius. Ideologi bentukan penjajah jelas merupakan keluaran mental dari sistem moral yang dianut penjajah yang tentunya merambah ranah politik dan ekonomi pula. Ukuran moral a la barat seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral adalah ketika seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta lebih dari orang tuanya.

Meskipun pendidikan tradisional (pribumi) mendapat angin segar ketika Jepang datang ke Indonesia, pertarungan dimenangkan oleh pendekatan yang pertama nampaknya terjadi kompromi di antara founding fathers Negara Indonesia ini dan ditenggarai dengan didirikannya departemen agama di tahun 1948 untuk mengakomodir aspirasi mayoritas umat Islam Indonesia dan berlangsung hingga jaman orde baru dan sekarang. Sejarah mencatat perlakuan tidak seimbang antara dua mainstream ini oleh pemerintah. Walaupun kondisi sekarang sudah membaik, ketertinggalan sistem pendidikan agama masih terasa di segala lini hingga saat ini.

Materialisasi pendidikan yang dimaksud di sini adalah sebuah proses menjadikan semua bernilai materi di segala sendi sistem pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Agama. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut. Contohnya dalam hal kurikulum pendidikan misalnya diarahkan kepada kurikulum yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut dirancang sedemikian rupa dan untuk mengikutinya harus mengeluarkan uang sangat sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya harus mengeluarkan dana yang besar, maka dapat dibayangkan setelah memperoleh pengetahuan tersebut. Peserta didik yang telah selesai akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengembalikan modal dan tentu berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Karena memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi di masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan untuk menjadikan manusia yang utuh dengan menggunakan prinsip ekonomi tidak akan mengenal nilai-nilai spiritual, moralitas, kebersamaan.

Dalam aspek pendidik misalnya banyak sekali praktek dan perilaku penididik yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Praktik pelanggaran moralitas tinggi justru sudah diajarkan oleh para pendidik kepada peserta didik dengan berbagai praktik dan modus operandi dalam proses pengajaran dan ujian, salah satunya adalah modus di atas.

Peserta didik sebagai korban dari sistem dan proses pendidikan yang akibatnya adanya reduksi makna dari pendidikan menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowledges), pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak. Peserta didik yang sudah berpengalaman, misalnya mahasiswa S1 atau S2 dan bahkan S3 yang telah memahmi praktik-praktik demikian ini dan tidak mau memperhatikan nilai-nilai moralitas akan melakukan praktik-praktik asal bisa lulus dan selesai. Jual beli nilai, jual beli gelar, dan jual beli karya ilmiah adalah suatu fakta tak terelakkan yang menunjukkan betapa rendah mental dan moralitas para peserta didik.

Orientasi manajemen pendidikan yang salah dilihat dari praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus dimana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi tolok ukur majunya sebuah lembaga pendidikan. Jika orientasi kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya.

Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Arus modernisasi secara bombastik mengakibatkan pergeseran karakter masyaraka secara luar biasa. Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, pergeseran budaya, pergeseran gaya hidup, pergeseran pandangan hidup, pergeseran pertilaku politik, pergeseran perilaku ekonomi, dan pergeseran terhadap ajaran agama dan ironisnya salah satu penyebab kemunduran moral bangsa melalui pendidikan.

Materialisasi pendidikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasioanl maupun pendidikan Islam dengan ukuran kuantitatif; berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara, berapa yang telah menjadi pejabat tinggi, berapa alumni yang telag menjadi dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan apapun akan dapat dipredikisikan penghasilan mereka. Perhitungan jumlah alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, berapa alumni yang telah mampu memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat tanpa pamrih apapun, berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan pendidikannya yaitu menjadi manusia seutuhnya jarang atau hampir tidak ada. Manusia seutuhnya di sini berarti secara jamsani dan ruhani, secara material dan spiritual, dan secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.

Untuk memahami arah kebijakan pembangunan pendidikan, mari kita merunut GBHN 1994-2004 dan UU Sisdiknas tahun 2005. Isi dari kebijakan tersebut ada delapan point, namun ketiga point di bawah dapat mewakili delapan point kebijakan sebagai berikut:

  1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
  2. Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta menigkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga tenaga kependidikan; dan
  3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik. Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, secara deversifikasi jenis pendidikan secara frofesional.

Dari penjelasn tiga poin kebijakan itu, dapat disimpulkan bahwa arah kebijakan pembangunan pendidikan menurut GBHN tersebut adalah untuk mengupayakan pendidikan nasional yang bermutu demi kemaslahatan bangsa. Selain itu, arah kebijakan tersebut bertujuan untuk memudahkan dan mensetarakan pendidikan yang berwatak dan berbudi pekerti.

Jika melihat Undang-Undang Sisdiknas tentang Paradigma Baru Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003, dapat dipetik point-point yang diarahkan sebagai sasaran pendidikan, yaitu;

1. Tentang demokrasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tercantum dalam bab tiga tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan junjungan tinggi hak azazi manusia… dts (ayat 1). Adanya desentralisasi menjadikan pendanaan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1).

  1. Peran serta masyarakat, demokratisasi penyelenggaraan pendidikan harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, oraganisasi profesi, dan organisasi kemasyrakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1).
  2. Tantangan global yang melanda dunia yang mengharuskan pendidikan bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan formal, baik pendidikan yang didirikan pemerintah maupun masyarakat.
  3. Kesetaraan dan keseimbangan antara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat.
  4. Jalur formal, nonformal, dan informal, dengan meniadakan istilah jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
  5. Peserta didik, dengan menempatkan mereka sebagai subyek pendidikan. Hal ini menunjukkan keberpihakan Undang-Undang Sisdiknas kepada peserta didik terutama kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.

Jika kita perhatikan, apa yang digariskan dalam UUD 45 (di bawah) dan disambungkan dengan apa yang termaktub dalam GBHN dan undang-undang Sisdiknas, terjadi adanya degradasi penekanan atas pentingnya moral dan nilai dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan memang menjadi varibel penting dalam urusan demokratisasi dan desentralisasi, akan tetapi, kita pahami bahwa desentralisi yang kita lakukan sekarang ini sangat tidak efektif dan cenderung mubadzir karena harus menghabiskan dana besar yang seharusnya bisa dialokasikan ke ranah pendidikan. Terlebih, tiap daerah di Indonesia mempunyai karakter dan potensi yang berbeda untuk menyokong pendidikan secara baik.

Oleh karena itu, Kementerian Agama dalam hal ini dapat menjadi sebuah garda terdepan guna mendorong kembali mainstream moral dan nilai dalam sistem pendidikan Indonesia. Bangsa Indonesia harus kembali berbasis spiritualisme-religius dalam gerakan pendidikan agama karena bangunan sistem yang ada tidak cocok dengan kondisi nilai dan moral yang menjadi heritage kita sejak lama. Kita dapat mencontoh bagaima jepang bisa bangkit sedemian rupa dan membentuk masyarakat yang terdidik (knowledged society) yang terlahir dari sifat dan sikap sederhana dan akhirnya membentuk menjadi Negara adidaya dengan sumber kekayaan alam yang sedikit.

Di Jepang, fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dapat dicermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum. Pemimpin yang terindikasi korupsi dan karena malu terhadap sanksi sosial yang mereka hadapi, akhirnya bunuh diri untuk menutupi rasa malu mereka.

Contoh kedua adalah sikap anti-konsumerisme; bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di sana, banyak orang ramai antri untuk belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Ternyata, sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup karena supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Sikap ekonomis para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen juga menjadi contoh menarik. Juga, bagaimana orang Jepang lebih memilih naik Densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata Densha swasta lebih murah daripada milik negeri.

Dalam hal “sopan santun dan menghormati orang lain,” masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan atau merugikan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).

Pembentukan manusia yang bermoralitas tinggi merupakan hasil akhir dari inti Pendidikan Agama manapun yang berfungsi sebagai wahana. Kalau di Islam, moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur'an juga sering dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung diikuti oleh “beramal saleh.” Dengan kata lain amal saleh sebagai manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah yaitu al-akhlaq al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah. Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang diridlai Allah. Nilai-nilai universal seperti ini sebetulnya ada dalam tiap agama di Indonesia.

Hal yang penting dari pemahaman yang baik terhadap nilai maupun moral adalah penghayatan dan inilah sebetulnya yang harus menjadi ukuran keberhasilan pendidikan agama di Indonesia. Penghayatan terhadap sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadiannya, menyatu, dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati moralitas berarti semua bentuk moralitas yang telah diketahui itu masuk menjadi bagian dari pribadi dan tidak terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh sesuatu yang telah dihayati itu. Memang, perihal penghayatan ini bukan masalah sederhana karena tergantung dari proses kejiwaan dan proses pendidikan.

Representasi umum dari institusi pendidikan agama sebagai contoh kita bisa angkat satuan pendidikan yang berada di naungan dua ormas besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Nahdlatul terkenal dengan Lembaga Pendidikan Ma’rif sedangkan Muhammadiyah terkenal dengan Majelis Pendidikannya. Dua ormas ini sarat dengan nilai dan moral dalam mengeksekusi satuan pendidikannya. Satuan pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah dalam sejarahnya memang lebih beruntung dibandingkan dengan LP Ma’arif NU dapat dikategorikan maju dalam beberapa hal. Sedangkan LP Ma’arif secara kasat mata masih terus melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Perhatian khusus terhadap nilai dan moral bagi keduanya adalah harga mati bagi pelaksanaan pembentukan karakter anak didik sekolah.

Lembaga Pendidikan Ma’arif NU saat ini masih berkutat dalam hal penataan pola interaksi dengan satuan pendidikannya; penataan berbasis organisatoris dan penataan berbasis nilai. Penataan secara organisatoris memang penting guna meningkatkan kualitas satuan pendidikan contohnya secara manejerial. Di sisi lain, secara sosiologis, masyarakat masih tetap percaya pada satuan pendidikan NU meskipun dalam kondisi manejerial tidak mengikuti induk organisasi. Kenapa hal ini terjadi?. Masyarakat pada umunya masih percaya dan membutuhkan model pendidikan bermutu yang lebih menitikberatkan pendidikan nilai agama seperti Ma’arif NU dengan pemahaman agama yang damai, moderat dan toleran tanpa perlu mempertanyakan bentuk afiliasi organisatoris. Afiliasi terjadi pada ikatan nilai karena diyakini madrasah (atau pesantren pada umunya) memegang teguh pada prinsip agama yang dibawa tokoh NU. Fenomena ini menarik karena kesatuan atas kesamaan moral dan nilai inilah yang berfungsi sebagai pengendali arah satuan pendidikan di lingkungan NU.

Sudah tegas disebutkan di BAB XIII perihal PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Pasal 31 menyebutkan bahwa: 1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Oleh karena itu, seharusnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus berdasarkan sistem nilai dan moral atau spiritualisme-religius (keimanan dan takwa), bukan berpijak pada pendekatan matelisme-kapitalis. Pemerintah jangan takut dengan argumentasi yang didengungkan pihak barat bahwa pendidikan berbasis keagamaan (nilai dan moral) akan menimbulkan sikap fanatisme keagamaan masarakat secara umum. Kita harus berpulang kembali kepada warisan lokal dan budaya lokal yang sudah mendarah daging dalam karakter bangsa kita ini.

Argumentasi untuk membentuk semacam konsep pendidikan nasional secara terpadu sangat baik secara substantip. Pemikiran ini didasarkan atas beberapa pemikiran, di antaranya adalah adanya dikotomi antara dunia pendidikan dengan dunia industri yang seharusnya tidak terjadi, tidak adanya visi ideologis, budaya, politik pendidikan, ekonomi dan politik yang berpihak pemberdayaan manusia Indonesia itu sendiri, intensifikasi konsep pendidikan terpadu secara kelembagaan, dibutuhkannya political will pemerintah yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat sebagai pengelola pendidikan, dan perombakan secara menyeluruh sistem pendidikan secara legal standing agar penyelewengan tidak akan terjadi di sub sistem yang ada. Akan tetapi, jika diintensifikasi melalui kelembagaan satu payung, pertanyaan yang muncul adalah apakah kita siap dengan aspek politis yang siap intervensi di jalur pendidikan ini?. Bisakah terciptanya suatu simbiosis mutualisme antara banyaknya lembaga pendidikan yang berlindung atau didirikan oleh beberapa departemen, misalnya Kementerian Pertahanan memiliki Akabri, Polri dengan Akpol dan sebagainya; Kementerian Agama memiliki lembaga pendidikan agama, Kementerian Keuangan memiliki lembaga pendidikan STAN, Kementerian Dalam Negeri memiliki lembaga pendidikan APMD dan sebagainya?. Meskipun pemikiran pendirian tersebut di satu sisi adalah untuk pemberdayaan sumber daya manusia masing-masing departemen, namun ada analisis lain yaitu sebagai lahan untuk mendapat anggaran lebih besar karena lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing departemen merupakan sumber proposal proyek yang sangat strategis.

Berdasarkan contoh di atas, pemahaman dan implementasi yang baik secara fungsional, substansial, operasional, dan mekanikal ketiga institusi dan pentingnya relasi hubungan berdasarkan nilai dan moral tadi merupakan modal penting tidak hanya untuk mengembangkan pendidikan agama secara khusus tetapi juga pendidikan umum. Penguatan landasan spiritualisme-religius di dalam segala aspek pendidikan agama bisa dijadikan ujung tombak (spearhead) guna menciptakan peradaban manusia Indonesia yang dapat dibanggakan dan dapat dijadikan contoh sebagai proses dematerialisasi sistem pendidikan nasional secara umum.

Ditulis oleh M Kholis Hamdy sebagai syarat peserta Workshop Strategi Pengembangangan Pendidikan Islam di Hotel Batavia oleh Shihabuddin Institute, 3-4 Februari 2011, utusan dari Yayasana Taman Pendidikan Islam Darul Ulum, Baureno, Bojonegoro, Jawa timur.

Sumber Bacaan:

Ahmadi, A. Pendidikan dari Masa ke Masa, (Bandung: Cetakan Pertama, CV Armico), 1987.

Gerakan Di Zi Gui, Budi Pekerti, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.

Standar Nasional Pendidikan; PP RI no. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dilengakapi dengan penjelasan, tanpa nama penulis, penerbit dan tahun.

Jurnal Ma’arif; Pemberdayaan Masyarakat & Pendidikan Edisi XII tahun 2009, (Jakarta, LP Ma’arif NU).

Dawam, Ainurrofiq, DR. MA, Pendidikan Islam Indonesia Kini, http://www.ditpertais.net/swara/warta17-01.asp, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.30.

Rami Satria Wahono, Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Belajar+Dari+Jepang+Membentuk+Komunitas+Terdidik&&nomorurut_artikel=197, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.35.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, http://ibau.bappenas.go.id/data/peraturan/Undang-Undang%20Dasar/UUD%2045.pdf, diakses pada tanggal 2 Februari 2011, pukul. 19.40.

Suryan, S.Pd.I, Relasi Pendidikan Dengan Modernisasi, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=RELASI+PENDIDIKAN+DENGAN+MODERNISASI&&nomorurut_artikel=465, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.35.

Muliani, Masalah Pendidikan di Indonesia, http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah+Pendidikan+di+Indonesia&&nomorurut_artikel=364, diakses pada tanggal 1 Februari 2011, pukul. 10.40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar