Senin, 25 April 2011

Usaha Kesejahteraan Sosial NU; PP LP Ma'arif

Dorongan untuk sejahtera merupakan suatu hal yang inherent dalam diri manusia terlepas konstruksi pemikiran agama maupun sosiologis manusia. Kedua konstruksi tersebut terus menstimulus manusia untuk terus berkembang atas nama pencapaian kesejahteraan. Pencapaian yang terkadang tidak selalu maksimal karena ketidakmampuan manusia mencapai barometer kesejahteraan mereka ataupun yang digariskan oleh agama.

Al-Qur’an memberikan gambaran sebagai manusia yang sejahtera di surga. Dalam Surat Toha ayat 117-119, kesejehteraan tersebut digambarkan dengan:

Hai Adam, sesungguhnya iblis ini adalah musuh bagimu dan bagi istrimu. Maka, sekali-sekali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga yang akibatnya kamu akan bersusah payah. Sesungguhnya kamu tidak akan lapar di sini (surga), tidak akan pula bertelanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga tidak pula akan kepanasan.

Menurut Quraish Shihab, manusia mengalami kondisi kesejahteraan ideal di surga, dalam keadaan sejahtera, suasana kedamaian, sejahtera lahir dan batin. Kesejahteraan lahir yang terwujud karena tiga kebutuhan mendasar manusia (sandang, pangan, papan) sudah terpenuhi, demikian pula dengan kesejahteraan batin (tanpa ego dan syaitan).

Dalam kehidupan di dunia ini, Islam (sebagai petunjuk Ilahi) mendorong penganutnya untuk melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan prospektif, baik dari segi lahiriah dan batiniah secara terus menerus. Hal ini senada dengan penyataan Agil Siraj:

“...Islam mengidealkan perubahan masyarakat atau komunitas yang dibangun dari tiap individu. Artinya, perubahan yang terjadi pada seseorang harus bermuara pada penciptaan arus, gelombang, atau minimal, riak yang menyentuh orang lain. Dengan demikian, transformasi individu berbarengan dengan perubahan masyarakat. Mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan lahir dan batin adalah muara akhir dari transformasi tersebut. Itulah tugas manusia sebagai khalifatullah di muka bumi. Idealisme inilah yang dikenal dengan sebutan “maqashidu-syar’iyyah”, yaitu standar ideal pencapaian kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Islam sebagai agama mempunyai gambaran kesejahteraan bagi manusia yaitu kesejahteraan ruhani dan kesejahteraan jasmani. Kesejahteraan ruhani dilakukan melalui syari’at Allah dengan menjauhi setan yang berarti mewujudkan kesejahteraannya dalam koridor-koridor yang telah ditentukan agama. Sedangkan kesejahteraan lahir atau fisik dengan terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder manusia. Islam mengajarkan kesejahteraan (lahir/batin) harus diupayakan sendiri oleh manusia karena kesejahteraan bukanlah sesuatu yang begitu saja ada (taken for granted) seperti kehidupan di surga. Terdapat banyak definisi mengenai kesejahteraan (dalam hal ini kesejahteraan sosial) yang diberikan oleh beragam kalangan, baik institusi kenegaraan, pemerintah, maupun akademisi.

Secara khusus, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dikutip oleh Mohammad Suud, memberikan batasan terhadap konsep kesejahteraan atau kesejahteraan sosial (selanjutnya penulis akan menggunakan kata kesos dalam penulisan skripsi ini) sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisir dan bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.

Ini dapat diartikan bahwa kessos adalah sebuah institusi atau bidang kegiatan yang terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.

Hal yang agak serupa diungkapkan oleh Edi Suharto bahwa kesejahteraan sosial mempunyai tiga konsepsi: Pertama, kondisi kehidupan yang sejahtera; terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. Kedua, institusi, arena atau bidang yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial (LKS) dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Ketiga, aktivitas suatu kegiatan atau usaha terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.

Kesejahteraan sebagai UKS biasanya selalu dilimpahkan menjadi peran negara seutuhnya. Namun, setiap negara mempunyai kecenderungan yang berbeda dalam memandang tanggung jawab ini. Hal ini terkait dengan perbedaan faham atas bentuk negara dan corak pembangunan yang digunakan. Indonesia menganut faham negara Kesejahteraan (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) atau yang dikenal dengan istilah welfare pluralism atau Pluralisme Kesejahteraan. Model seperti ini berargumen bahwa negara harus mengambil bagian dalam penyelenggaraan jaminan sosial (social security) dan penanganan masalah sosial dan membuka sisi operasional kepada masyarakat untuk terlibat. Hal ini menyebabkan terbukanya peran non pemerintah untuk turut partisipasi dalam usaha kesejahteraan sosial di Indonesia.

Terbukanya peran serta masyarakat dikuatkan dengan adanya Undang-Undang tentang peran tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat agar berpartisipasi dalam UKS di Indonesia. Undang-Undang RI No. 6 1974 bab 1, pasal 2 ayat 1 berisi Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sebagai berikut:

Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai Pancasila.

Dalam ilmu kesos, usaha-usaha kesejahteraan dilakukan oleh profesi yang dikenal dengan sebutan pekerjaan sosial (disingkat peksos); suatu profesi atau peran yang tumbuh dari berbagai spesialisasi dan lapangan praktek yang beragam. Praktek peksos terjadi pada tiga tingkatan: 1. Micro-individu, 2. Mezzo-terkait dengan keluarga atau kelompok kecil 3. Macro-organisasi, komunitas atau pada ranah kebijakan sosial. Adapula pendapat yang hanya membagi pada dua level saja: mikro dan makro. Selanjutnya, wadah yang menaungi peksos dalam melakukan usaha-usaha kessos disebut dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) atau yang lazim disebut dengan Human Service Organization (HSO).

Arthur Dunham mengklasifiksikan LKS pada: 1. Auspices, 2. Area fungsi (functional fields), 3. Area geografis (geographical area), 4. Lembaga yang memberikan pelayanan langsung (consumer service agencies), 5. Lembaga yang tidak memberikan pelayanan secara langsung (non-consumer service agencies).

Upaya LKS dalam mewujudkan kesos salah satunya dengan identifikasi terhadap masalah sosial yang ada di masyarakat atau yang lazim disebut dengan pemetaan sosial. Pemetaan sosial sebetulnya juga dapat digunakan tidak hanya oleh pemerintah dan LKS saja, akan tetapi terbuka untuk kalangan institusi keagamaan, institusi pendidikan, LSM, ormas dalam merumuskan konsep, bidang dan aktifitas yang akan dilakoni karena masalah sosial merupakan keadaan yang dirasakan orang banyak dan memuat unsur “keharusan melakukan tindakan untuk merubah keadaan (masalah sosial)” dan “tuntutan pemecahan dengan aksi sosial secara kolektif.

Salah satu usaha merubah keadaan dan pemecahan masalah secara kolektif dapat dilakukan melalui sisi agama. Dalam hal ini, pendekatan teologis tidak hanya dipandang sebagai instrumen ilahiyah, tataran hubungan vertikal, namun juga, dapat menjadi spirit sekaligus sebagai alat pemecah persoalan-persoalan kemasyarakatan. Untuk pencapaian tujuan ini, Islam memberikan petunjuk meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah (keyakinan), akhlak (moral), maupun syari’ah (hukum).

Selain itu, relasi agama dan masyarakat ada pada dimensi agama sebagai suatu keyakinan baik bersifat transenden dan sosial serta aspek-aspeknya. Peranan agama dalam kehidupan sosial selain sebagai sesuatu yang final dan ultimate dalam pandangan pemeluknya, juga sebagai sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan masyarakat.

Pelembagaan agama bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oeh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan terlembaga yang fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya organisasi keagamaan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adaptif.

Oleh karena itu, jika Islam mengarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, tujuan negara dalam menyejahterakan rakyat seiring dengan kesejahteraan dunia umumnya dan terbukanya partisipasi masyarakat, maka usaha kesejahteraan sepatutnya menjadi bagian tanggung jawab organisasi keagamaan seperti NU. Selain peran pemerintah atau LSM yang ikut bagian dalam usaha kesejahteraan sosial, peran NU sangat strategis dengan budaya patronase kiyai atau patron-klien dan sosok kiyai dipandang sosok ideal pemimpin, terutama dalam basis agama dan eksistensi ormas ini yang relatif mandiri dari negara menjadikannya mendapat peran penting dalam mengartikulasikan serta memperluas reformasi sosial melalui program-program pemberdayaan masyarakat seperti: pelayanan sosial, penanganan kesehatan, koperasi, pelayanan keagamaan, pendidikan dan sebagainya menjadi catatan penting bagi para ilmuan.

Dalam hal ini, penulis memandang organisasi keagamaan sangat menarik untuk diteliti dan dalam hal penelitian ini; Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama. Ada beberapa alasan sebagai argumentasi menariknya penelitian ini: pertama, penelitian terhadap organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PERSIS, Nahdlatul Wathan dan lain sebagainya sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, masih sedikit yang meneliti organisasi-organisasi tersebut dari perspektif ilmu kesos.

Kedua, berdasarkan fakta yang ada, jumlah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU sebanyak 12094 sekolah terdiri dari Madrasah Ibtidaiyyah hingga Perguruan Tinggi, tersebar di 23 propinsi dan terus berkembang tiap tahunnya. Jumlah lembaga pendidikan ini sangatlah signifikan dan menunjukkan bahwa peran organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah memiliki reputasi sejarah yang sangat cemerlang dengan penampilannya yang mapan di tengah-tengah masyarakat akar rumput (grassroot), baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Ketiga, secara kelembagaan ada lembaga yang spesifik menangani wilayah sosial yang dikenal dengan lembaga mabarot, akan tetapi sejarah membuktikan bahwa eksistensi Ma’arif lebih baik dari pada mabarot karena hingga sekarang lembaga ini masih eksis sedangkan mabarot sudah tidak ada lagi.

Keempat, pendidikan yang dalam ilmu kessos merupakan salah satu bidang UKS ini juga secara khusus menjadi perhatian NU. Dalam hal ini, departementasi yang membidani pendidikan bernama Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (disingkat LP Ma’arif NU). Peran LP Ma’arif NU ini telah memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap pembangunan bangsa khususnya UKS di bidang pendidikan di Indonesia.

Hal ini diperkuat dalam sejarah perjalanan NU, yaitu perhatian terhadap bidang pendidikan yang dapat dilihat dari statuta NU. Lalu dilanjutkan momentum kembali NU ke khittah pada tahun di era Gus Dur di mana LP Ma’arif NU secara resmi menjadi satu-satunya lembaga yang membidani pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar