Senin, 25 April 2011

Konsep Peran dalam Beragam Tinjauan

A.1. Peran Menurut Islam
Manusia mempunyai peran penting di muka bumi ini. Kondisi baik-buruk kehidupan di dunia sangat ditentukan oleh konsistensi manusia dalam melakukan aktivitas baik positif maupun negatif. Dalam hal ini, manusia merupakan faktor penting bagi terciptanya keseimbangan dunia. Sebagaimana Allah berfirman, Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,…” (QS. Al-Baqarah:30), dan juga, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) semuanya… (QS. Al-Baqarah:31).
Yang dimaksud khalifah dalam ayat tersebut adalah manusia. Sedangkan kata asma (nama) dalam ayat berikutnya adalah nilai-nilai Allah SWT yang berbentuk makhluk ciptaan selain manusia. Manusia di muka bumi sebagai manifestasi wujud Allah. Oleh karena itu, manusia berkewajiban menjaga dan mengembangkan asma atau nilai-nilai-Nya.
Khalifah adalah pengganti Allah di muka bumi untuk mengetahui ciptaan-ciptaan-Nya; jagat raya dan kekayaan alam ini seperti hutan, sungai, tanah, batu-batuan, gunung, bukit dan tumbuh-tumbuhan. Dalam surat al-Hijr ayat 19-20, Allah menegaskan salah satu hubungan kita dengan alam, yang artinya:
“Dan Kami telah hamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah jadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rizki kepadanya.”

Seperti disebutkan di atas, alam jagat raya beserta isinya merupakan asma, nilai dan ayat-ayat kauniyah-Nya. Salah satu bentuk penghambaan manusia terhadap penciptanya dengan menyukuri, mengoptimalisasi kemampuan dalam melestarikan, mengembangkan dan mencegah sedini mungkin berbagai bentuk mafsadat (kerusakan) terhadap alam semesta. Mashlahat (kebaikan/ kesejahteraan) merupakan suatu tujuan bagi peran khalifah di muka bumi. Segala sesuatu yang terkait dengan kebaikan, kemakmuran dan kesejahteran manusia di muka bumi menjadi kewajiban guna menjadi khalifah yang baik.
Peran manusia sebagai khalifah telah jelas ditegaskan Allah sebagai mandataris di muka bumi. Hal ini dapat diartikan bahwa manusia sebagai khalifah adalah sebagai penegak tauhid, keadilan, keselamatan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Pencapaian ketenangan batin dan kesejahteraan lahir di dunia dituntut dari Adam beserta anak cucunya. Usaha-usaha yang baik harus dilakukan agar tercapainya tujuan tersebut. Anak cucu adam secara alami akan terdorong untuk mewujudkannya sekaligus menyediakan sarana dan mekanisme pencapaian tujuan tersebut. Dalam merelisasikan peran tersebut, Islam menganjurkan peran aktif semua pihak karena kegiatan yang beragam dan disesuaikan dengan kondisi dan sasaran yang dicapai. Sayyid Quthb, dikutip oleh Quraish Shihab, menyatakan bahwa “cita-cita sosial Islam (kesejahteraan sosial yang diperjuangkannya), bukan hanya berbentuk finansial belaka tetapi dalam berbagai bentuk lain juga. Usaha dapat dilakukan secara beragam seperti zakat, infak dan shadaqoh adalah sebagaian cara dari banyak usaha yang dianjurkan dalam Islam.”
Terlebih, peran khalifah dalam upaya mewujudkan cita-cita, dalam perjuangannya harus menambahkan bobot aspek akidah dan etika dalam diri pemeluknya. Perjuangan dimulai diri tiap individu dengan pendidikan kejiwaan lalu berlanjut ke tingkat keluarga dan masyarakat sehingga mewujudkan kesejahteraan untuk semuanya. Menurut Quraish Shihab, salah satu usaha untuk itu adalah a. meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam mengembangkan swadaya masyarakat, b. membuka peluang kesempatan kerja dan keterampilan, c. menguatkan kapasitas keuangan masyarakat miskin.
Oleh karena itu peranan yang dinamis-positif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan kewajiban manusia karena perubahan kecil apapun atau ide dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa usaha. Ini dikuatkan dengan rumusan Allah dalam al-Quran yang artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka)…” (QS: 13:11).
A.2. Peran Dalam Sosiologi
Peran dalam konteks sosiologis dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan; pendekatan struktural dan pendekatan interaksionis. Pendekatan struktural menekankan norma-norma seperti: hak, tanggung jawab, ekspektasi dan standar tingkah laku yang diasosiasikan dengan posisi sosial. Dengan kata lain, posisi sosial seseorang dilihat sebagai sesuatu yang mempengaruhi tindakan seseorang. Tidak hanya itu, terkadang status sosial seperti gender, etnisitas, orientasi seks dan kelas sosial pun membentuk peran. Sedangkan perspektif interaksionis fokus terhadap bagaimana individu-individu beradaptasi dan bertindak peran saat interaksi. Individu melakukan peran mereka dengan yang lain pada suatu konteks sosial, sama halnya aktor dalam sebuah drama (role-performing). Individu juga mengambil peran orang lain untuk mengantisipasi tindakan yang akan terjadi (role-taking) dan secara berkelanjutan memproduksi peran dan reproduksi peran (role-making). Akibat dari interaksi-interaksi tersebut, individu mengidentifikasi diri mereka dan pengidentifikasian orang lain yang memangku status sosial dan posisi sosial.
Stuktur masyarakat menentukan harapan-harapan terhadap pemegang peranan (role of expectations) yang menurut Dahrendorf harapan tersebut berasal dari norma sosial dan individu atau kelompok dengan melalui “normative reference groupnya”. Pembedaan dilakukan antara ‘harapan bagi suatu peranan’ dengan pendapat individu yang menekankan pada perspektif masyarakat yang bersifat deterministik seperti agama. Dalam hal ini, penekanan terhadap peran dari pendapat individu pada perspektif masyarakat deterministik akan lebih dibahas.
Antara agama dan pemeluknya, ada norma yang biasanya ditetapkan oleh agama untuk bertindak. Akan tetapi, ada pula harapan yang dilimpahkan agama kepada pemeluknya. Hubungan agama dan masyarakat ada pada dimensi agama sebagai suatu keyakinan baik bersifat transcendent dan sosial serta aspek-aspeknya. Peranan agama dalam kehidupan sosial selain sebagai sesuatu yang final dan ultimate dalam pandangan pemeluknya, juga sebagai sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan masyarakat.
Teori fungsionalis agama memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” (referensi transendental) sebagai dasar dari karakteristik dasar eksistensi manusia meliputi: pertama manusia hidup dalam ketidakpastian, dan memandang keamanan serta kesejahteraan sebagai sesuatu yang berada di luar jangkauannya; kedua, kemampuan terbatas manusia dalam mengendalikan dan mempengaruhi kondisinya; ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi teratur dari pelbagai fungsi, fasilitas dan ganjaran. Fungsi agama di bidang sosial sebagai fungsi penentu, dimana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Kristalisasi fungsi agama di wilayah sosial ditandai dengan upaya pelembagaan agama. Pelembagaan agama bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oeh perkembangan agama dan puncak pelembagaan agama terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat) dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi keagamaan terlembaga berfungsi mengelola masalah-masalah keagamaan. Adanya organisasi keagamaan akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi, yang notabene membuka kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adaptif. Organisasi keagamaan yang pada awalnya tumbuh dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga seperti: Muhammadiyah yang dipelopori Kiai Haji Ahmad Dahlan dari pemikiran Muhammad Abduh dan Nahdlatul Ulama dari kuatnya pengaruh KH. Hasyim Asy’ari dari tradisi empat mazhab, khususnya terhadap Mazhab Syafi’i.
Tampilnya organisasi keagamaan juga disebabkan adanya perubahan batin atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan dan sebagainya. Dari keterkaitan seperti itu lah yang membentuk corak organisasi keagamaan.
Begitu juga jika dikaitkan dengan peran pemerintah sebagai penyelenggara negara, struktur masyarakat dengan norma sosial yang ada membentuk harapan-harapan bagi terciptanya negara yang sejahtera atau pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Terbentuknya negara sejahtera tidak hanya karena ada sebuah hukum formal yang mencita-citakan, tetapi juga adanya desakan sosial atau norma sosial yang menyepakati.
Karena dalam negara ada interaksi yang terjadi dengan masyarakat yang diikuti dengan hukum formal dan legitimasi sosial, ini membuka tanggung jawab nilai yang ingin dicapai bersama. Adanya legal formal yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar atau peraturan-peraturan pemerintah, serta adanya sebuah harapan dan desakan masyarakat (norma sosial), peran serta masyarakat dalam mewujudkan ‘negara sejahtera’ menjadi kewajiban. Struktur masyarakat yang ada; pranata-pranata sosial seperti, pendidikan, LSM, organisasi keagamaan, dsb, dapat berperan dalam atau melakukan usaha-usaha untuk cita-cita yang disepakati.
Kesepakatan peranan dalam sebuah organisasi sosial terkait erat dengan cita-cita organisasi tersebut. Tiap organisasi mempunyai visi, misi dan karakter kelembagaan yang berbeda. Organisasi sosial kemasyarakatan di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, PERSIS dan lainnya pasti mempunyai rumusan berbeda terhadap peranan yang harus mereka lakukan dalam masyarakat.
Walhasil, antara norma-harapan, hak-kewajiban dan nilai-tujuan dalam konteks sosiologis, peran manusia dalam segala aspek hidup merupakan sebuah keniscayaan. Kesemuanya itu merupakan sebuah kedinamisan hubungan sosial manusia dengan sekitar dan menjadikan manusia sebagai satu-satu factor dominan dalam teori peran.


A.3. Peran dalam Ilmu Kesejahteraan sosial
Peran dalam ilmu kesejahteraan sosial sangat terkait dengan profesi yang mengusahakan kesejahteraan sosial, profesi tersebut dikenal dengan istilah Pekerja Sosial (social work)/ (peksos). Peksos adalah profesi yang memperhatikan penyesuaian antara individu dengan lingkungannya, individu (kelompok) dalam hubungan dengan situasi (kondisi) sosialnya. Ini dilandasi dengan konsep “fungsi sosial” dan terkait dengan kinerja (performance) beragam peranan sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini, seorang peksos bergelut dengan kondisi akibat dari ketidakmampuan seseorang, kelompok atau masyarakat untuk berfungsi sosial dengan baik. Peran peksos inilah yang disebut dengan ‘intervensi peksos’ atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan intervention roles. Intervensi ini akan membentuk peranan yang harus dilaksanakan peksos. Ada beberapa pendapat mengenai peran peksos ini.
Zastrow memberi pandangan bahwa setidaknya ada 7 peran dalam ilmu kesejahteraan sosial, yaitu:
1. Enabler; berfungsi untuk membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka; mengidentifikasi masalah mereka sendiri; mengetahui dan mengembangkan kapasitas yang mereka miliki guna memecahkan masalah yang mereka hadapi. Intisarinya adalah help people (organize) to help themselves, dan perannya adalah sebagai community worker atau community organizer.
2. Broker; berperan sebagai mediator yang menghubungkan antara individu atau kelompok yang membutuhkan bantuan dengan pihak yang memiliki sumber daya.
3. Ahli (Expert); peran ini lebih pada pemberian saran dan dukungan informasi. Usulan seorang ahli bersifat masukan gagasan sebagai bahan pertimbangan saja.
4. Perencana Sosial (Social Planner); berperan sebagai assessor hingga ke implementor. Seorang perencana melakukan pemetaan sosial, menganalisa, mencari alternatif pemecahan, mencari sumber dana, mengembangkan konsensus kelompok yang mempunyai berbagai minat maupun kepentingan. Ada tumpang tindih antara seorang ahli dengan seorang perencana sosial. Seorang ahli lebih fokus dalam pemberian usulan dan saran, sedangkan perencana sosial lebih fokus ke tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pengimplemtasian program-program.
5. Advokat (advocate); peran ini meminjam disiplin ilmu hukum dimana usaha yang dilakukan berfungsi sebagai advokat yang mewakili kelompok yang membutuhkan bantuan dan layanan dengan kondisi institusi yang seharusnya memberikan bantuan tidak memperdulikan.
6. Aktivis (activist); peran ini dilakukan untuk mengorganisir kelompok yang menjadi korban atau kurang mendapat keuntungan (disadvantaged group) atas dasar ketidakadilan, ketidaksesuaian dengan hukum yang berlaku dan perampasan hak untuk melakukan perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang ada. Pola dilakukan dengan penekanan dalam bentuk konfrontasi (demonstrasi) dan negosiasi.
7. Edukator (educator); peran ini membutuhkan ketrampilan sebagai pembicara dan pendidik. Peran ini memberikan informasi mengenai beberapa hal tertentu misalnya upaya pencegahan HIV/AIDS yaitu dengan melakukan penyuluhan kepada kelompok rentan penyakit tersebut seperti remaja; kelompok homo seksual dan lain-lain.
Beulah R. Compton dan Burt Galaway menambahkan peran mediator dalam peran intervensi. Mediator terlibat dalam usaha-usaha untuk mendamaikan konflik, pertentangan, ketegangan antara dua pihak yang berselisih baik individu, kelompok maupun organisasi. Peran ini sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. Peran ini dituntut untuk dapat terlibat membangun dan mengarahkan pada resolusi yang konstruktif. Peran terkadang saling tumpang tindih dengan peran enabler. Akan tetapi para akademisi ilmu kesejahteraan sosial tidak terlalu mempersalahkan perdebatan yang terjadi. Sedangkan G. Hull menambah peran fasilitator dan case manager untuk peksos generalis.
Pemaknaan kata peran di sini mempunyai arti luas karena intervensi dilakukan oleh sebuah LKS baik bersifat langsung maupun tidak langsung yang dalam konteks ini adalah LP Ma’arif NU. Segala usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh LP Ma’arif NU akan memposisikan mereka pada klasifikasi peran-peran di atas.
B. Defenisi Operasional Kesejahteraan Sosial
B.1. Sejarah dan Pengertian Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial (social welfare atau profesi pekerjaan sosial (social work) merupakan sebuah cabang ilmu yang relatif muda. Disiplin ilmu ini pada awalnya merupakan hasil dari perpaduan beberapa disiplin ilmu khususnya sosiologi dan psikologi. Penguraian sejarah ilmu ini selalu terkait dengan perkembangan keduanya. Pengaruh dua disiplin ilmu ini sangat terasa pada awal-awal munculnya disiplin ilmu kesejahteraan sosial yang membentuk pula berbagai pengertian kesejahteraan sosial. Akan tetapi, dalam sub bab ini, penguraian sejarah kesejahteraan sosial dan pengertiannya akan lebih bersifat umum dan cukup representatif yaitu dengan pembacaan kenegaraan dan keilmuan.
Munculnya hukum-hukum orang miskin (poor law) yang dikenal dengan Elizabeth Poor Law (EPL) di Inggris sering dianggap sebagai awalnya keterlibatan pemerintah pada kesejahteraan sosial. Akan tetapi, jauh sebelum itu, ada beberapa contoh awal keterlibatan negara seperti pada Bangsa Babilon, dengan hukum-hukum Hammurabi yang memberi perhatian dan perlindungan kepada janda dan anak miskin.
Selain itu, di awal pembentukan pemerintahan Islam di Madinah terlahir produk hokum yang dinamakan Piagam Madinah yang bertujuan melindungi kepentingan beragam kelompok sosial yang ada. Dalam agama Kristen, kesejahteraan sosial pada mulanya merupakan tanggung jawab institusi keagamaan (gereja). Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan industri di Eropa berefek kepada ketidakmampuan gereja dalam menangani masalah sosial yang timbul di masyarakat, dan dengan kondisi tersebut, memaksa pemerintah untuk turut campur.
Sejarah mencatat peran signifikan ilmuan dalam proses berkembangnya ilmu kesejehateraan sosial sebagai disiplin ilmu pengetahuan. Nama-nama seperti Juan Luis Vives di Spanyol dengan konsep “De subventione Pauperum” yang dimplementasi pemerintah kota Hamburg tahun 1788 dan di kota Munich tahun 1790 yang diperkenalkan oleh Benjamin Thompson. Kota Elberfeld memperkenalkan sistem yang sama tahun 1853. Biaya dari sistem tersebut diambil dari pajak umum. Di Perancis, muncul reformis terkenal bernama Vincent de Paul yang mendirikan rumah sakit, panti anak yatim piatu dan tempat singgah untuk mantan narapidana, anak yatim, mereka yang sakit dan kelaparan. Selain itu ia mempelopori gerakan sukarelawan yang dikenal dengan Ladies Charities untuk kalangan istri pegawai pemerintah dan Daughters of Charity untuk wanita-wanita desa. Seiring perubahan masyarakat dan segala permasalahannya, perkembangan keilmuan kesos pun bertransformasi sesuai konteks secara terus menerus. Dari proses-proses panjang yang terjadi, muncullah beragam pengertian mengenai kesos.
Istilah kesejahteraan sosial dalam bahasa Inggris disebut dengan social welfare dan beragam definisi muncul dari para akademisi dan praktisi baik dalam negeri maupun luar negeri. Terminologi kesejahteraan sosial; usaha kesejahteraan sosial dan pekerjan sosial seringkali digunakan secara bergantian dan saling menggantikan. Hal ini terjadi karena ketiga konsep tersebut saling terkait. Untuk kemudahan penulisan, penulis akan menggunakan kesejahteraan sosial.
Edi Suharto memandang kesejahteraan sosial dengan tiga konsepsi: 1. Kondisi kehidupan yang sejahtera; terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial. 2. Institusi, arena atau bidang yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial (LKS) dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial (UKS). 3. Aktivitas, suatu kegiatan atau usaha terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.
James Midgley mendefinisikan kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas tiga elemen: 1. sejauh mana masalah sosial diatur, 2. Sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, 3. Kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan. Elizabeth Wickenden mendefinisikan kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya adalah peraturan perundangan, program, tunjangan, dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat. Gertrude Wilson mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu perhatian yang terorganisir dari semua orang untuk semua orang.
Selanjutnya, Walter Friedlander menyatakan konsep kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisir untuk menjamin individu ataupun kelompok agar dapat mencapai kebutuhan dasar hidup yang memuaskan. Hal ini dikuatkan dengan definisi dari panitia konferensi internasional kesejahteraan sosial yang mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagi berikut:
“Social welfare is all the organized social arrangements which have as their direct and primary objective the well-being of people in social context. It includes the broad range of policies and services which are concerned with various aspects of people live-their income, security, health, housing, education, recreation, cultural tradition, etc.
“Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula kebijakan dan pelayanan yang terkait berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, tradisi budaya, dll.”

Pengertian kesejahteraan sosial juga dapat dilihat dengan cara pandang terhadap kesehatan. Menurut Soeharto Herdjan, seperti yang dikutip oleh Isbandi, kesehatan jiwa dapat dilihat dari empat sudut pandang: kesehatan sebagai suatu kondisi, sebagai sebuah disiplin ilmu, sebagai kegiatan dan suatu gerakan. Dengan analogi tersebut, maka kesejahteraan sosial dapat dilihat sebagai: 1. suatu keadaan (kondisi); 2. Kesejahteraan sebagai suatu ilmu; 3. Kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang kegiatan; 4. Suatu gerakan.
Dari berbagai pengertian yang ada mengenai kesejahteraan sosial, kita dapat sekurang-kurangnya menangkap pengertian bahwa kesejahteraan sosial adalah sebagai sesuatu yang mencakup ilmu (konsep), harapan atau impian (kondisi), usaha (bidang dan gerakan) yang dikembangkan guna mencapai kesejahteraan umum, baik secara materil maupun non materil.
B.2. Kesejahteraan Sosial Menurut Islam
Menurut penulis, pandangan Islam terhadap kesejahteraan sosial ada dua pandangan. Pandangan bersifat non fatalistik, dan pandangan fatalistik; kehidupan akhirat lebih utama dari pada kehidupan di dunia ini. Banyak ayat al-Quran dan hadits nabi yang menyokong pemahaman fatalistik ini yang memandang dunia sebagai suatu hal nista dan tidak bermartabat dan berakibat tidak ada usaha yang sungguh untuk menciptakan hidup sejahtera. Di sisi lain, terdapat ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk mencapai kapasitas maksimal sebagai seorang khalifah yaitu mencapai kehidupan yang sejahtera di muka bumi, inilah yang penulis sebut dengan pandangan non fatalistik.
Di dalam doktrin Islam, berkembang pemahaman bahwa kemiskinan dan kefakiran sesuatu yang lazim, biasa dan merupakan “takdir” Allah SWT kepada sesbagian umat Islam. Pemahaman ini muncul ketika memaknai ayat-ayat sebagai berikut:
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga-banggaan di antara kalian serta berlomba-lomba dalam harta kekayaan dan anak keturunan...” (QS. Al-Hadid: 20)

“…Dan tidak ada kehidupan dunia dunia kecuali hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

“Dunia ibarat penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” (HR. Ibnu Laa Lin ‘an Nas)

“Surga dikelilingi dengan sesuatu yang dibenci, dan neraka dikelilingi dengan kesenangan-kesenangan.” (HR. Abu Huroiroh).

Pemahaman ini sayangnya sangat mengakar dalam awal bawah sadar masyarakat muslim kalangan bawah. Oleh karena itu, peran ulama, guru, mubaligh dan doktrin tasawuf sangat besar dalam hal ini untuk memberi pemahaman yang lebih mencerahkan. Pendekatan teologis anti tesis dari realitas faktual ini sangat dibutuhkan.
Sebetulnya, al-Quran sendiri berbicara tentang keseimbangan. Persoalan keseimbangan sangat serius dibicarakan dalam al-Quran. Sebab, di samping ajakan kitab suci ini untuk diterapkan oleh manusia, juga diterapkan dalam alokasi penggunaan kata-katanya. Kita lihat misalnya kata al-maut (mati) disebut dengan jumlah yang sama dengan kata al-hayat (hidup) yaitu 145 kali; al-malaikah dan syaithan sebanyak 88 kali; kata syukur dan mushibah sebanyak 85 kali; kata zakat dan barakah sebanyak 32 kali dan juga kata dunya dan akhirat disebutkan dengan bilangan yang sama, yaitu: 115 kali.
Islam memiliki prinsip-prinsip ‘adalah (social justice) yang kuat. Ini dapat dilihat dari ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Makkah yang sarat dengan keadilan sosial; zakat, perhatian terhadap kaum miskin, anak yatim dan kelompok lemah lainnya. Islam juga memberikan penghargaan dan perlindungan kepada wanita. Hal mendasarnya adalah setiap individu memiliki hak untuk hidup, berkembang dan sejahtera. Ketimpangan, orang lapar dan lemah, orang miskin, yatim, orang cacat dan buta tidak boleh dibiarkan dalam kesulitan sementara sebagian lainnya sejahtera.
Kewajiban membayar zakat (termasuk anjuran wakaf, qurban, sedekah dan infaq) merupakan usaha kesehateraan sosial dan usaha penciptaan stabilitas. Zakat diartikan sebagai “memelihara” orang miskin dan asnaf lainnya, akan tetapi bermakna transformative. Ini berarti zakat bukan sebagai saran kaum miskin bertahan hidup tapi diorientasikan dari penerima zakat (mustahiq) menjadi pembayar zakat (muzakki).
Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sumber otentik syari’ah Islam telah memberikan alternatif dalam setiap pembahasan yang berkaitan dengan dimensi kehidupan. Sedangkan syari’ah Islam datang untuk menghilangkan kesusahan dan kesusahan manusia, meminimalisir bahaya dan mencari nilai mashlahah bagi manusia. Syari’at Islam itu tidak hanya membahas tentang akhirat saja, juga mengatur kehidupan manusia di dunia, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang kamu dari padanya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (QS.Hud: 88).

Dari sini nampak jelas bahwa hukum/fikih senantiasa memperhatikan mashlahah manusia, yang diimplementasikan lewat maqashid syar’iyyah. Secara etimologis, maqashid berasal dari kata qasada yang berarti menghadap pada sesuatu. Sedangkan secara terminologis adalah sasaran-sasaran yang dituju oleh syari’at dan rahasia-rahasia yang diinginkan oleh Allah SWT dalam setiap hukum-hukum-Nya untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Sasaran maqashid syar’iyyah adalah melestarikan tatanan dunia dengan jaminan hak-hak asasi manusia, sebagai subyek dalam pelestarian dan pemakmuran alam. Ini berusaha untuk memelihara hak-hak manusia yang pada implementasinya terarah pada akidah, mengekspresikan amal dan juga status sosial individu di tengah masyarakat. Karena reformasi yang dicita-citakan oleh Islam adalah perbaikan yang menyeluruh pada setiap permasalahan umat manusia.
Maqashid syar’iyyah memiliki lima prinsip dasar yaitu: pertama, al khifd al-din; prinsip perlindungan terhadap agama, kedua, al-khifd al-nafs; prinsip melindungi hak hidup individu dan masyarakat dalam memiliki kekuatan dan kemampuan melindungi dan mengusahakan kesejahteraannya secara mandiri. ketiga, al-khifd al-‘aql; prinsip melindungi akal dari segala yang mengganggu daya pikir dan kreatifitas, keempat, al-khifd al-nasl; prinsip melestarikan kelangsungan generasi penerus, kelima, al-khifd al-mal; prinsip perlindungan kekayaan dan hak milik.

1 komentar: