Minggu, 24 April 2011

“Eksploitasi Ekonomi Terhadap Budaya”

Catatan Pribadi Hasil Diskusi Forum Diskusi Ekonomi Bersama Bapak Bisri Effendi

Bidang kajian atau penelitian tentang relasi politik ekonomi dan kebudayaan di Indonesia masih terbilang langka; masih memiliki ruang yang luas untuk eksplorasi. Sebetulnya, dalam sejarah Islam, potret realitas relasi dua bidang keilmuan dapat dirunut di masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kondisi budaya komunitas arab Quraish dengan pasar sebagai sebuah wahana kajian tersendiri tidak hanya dari aspek ekonomi tapi juga budaya. Meskipun beliau bersabda “sejelek-jeleknya tempat adalah pasar dan sebaik-baiknya tempat adalah masjid,” aktifitas perekonomian beliau secara personal juga pernah beliau lalui di pasar ini. Aspek budaya pasar yang terkesan negatip ternyata bisa dijadikan sebuah instrument pertukaran nilai-nilai positip melalui cara-cara berjualan nabi yang baik sehingga terjadinya pertukaran nilai moral sekaligus pertukaran nilai materi. Kejujuran beliau dalam berniaga menjadi sebuah prestasi tersendiri di kalangan pedangang pasar ketika itu. Juga, etos kerja beliau ketika mendapatkan amanah dari Siti Khadijah menjadi tauladan tersendiri dan menjadi catatan penting prilaku Nabi hingga saat ini.

Perihal budaya ekonomi ini, kita mencatat adanya gerakan keagamaan berlandaskan etos guna merubah perilaku aktifitas ekonomi dan budaya di kalangan katolik dengan lahirnya istilah protestanetik. Pertanyaannya kenapa harus berlandaskan agama? Apakah agama dipandang mampu dijadikan sebagai instrument aktifitas progresif dari stagnansi perilaku budaya dan ekonomi ketika itu? Jikalaupun itu dikatakan berhasil saat ini, mengapa perjalanan gerakan ini menjadi sebuah gerakan yang sangat eksploitatif dan cenderung menjadi alat dehumanisasi nilai kemanusiaan?. Islam tidak pernah melarang seseorang menjadi kaya; yang dipentingkan adalah aspek nilai dari aktifitas ekonomi yang dilakukan, misalnya, kejujuran, keadilan, kesalehan sosial, dsb. Seekspansip apapun aktifitas perekonomian selama tidak melanggar nilai keadilan dan memberikan social benefit kepada masyarakat secara luas adalah bagian dari cita-cita agama secara umum.

Seharusnya, jika berlandaskan agama, nilai etos yang digulirkan Webber itu diasumsikan dapat memberikan sumbangsih maslahat bagi pembangunan kebudayaan manusia; bukan sebaliknya. Kecenderungan eksploitatip dari “etos” ini memunculkan tandingan pendekatan baru; marxisme. Paska kejayaan Islam runtuh, dialektika dua mainstream; kapitalisme dan Marxisme di ranah ekonomi terus berlanjut hingga kini; baik di ranah kelimuan maupun di ranah praksis. Pertarungan yang panjang dan cacat bawaan keduanya berdampak munculnya proses mutasi yang tidak berkesudahan.

Ekonomi menjadi Problematika yang muncul dari prilaku ekonomi yang eksploitatip. Terdapat 3 macam eksploitasi ekonomi: eksploitasi colonial, eksploitasi imperialis dan eksplorasi fasist. Dalam eksploitasi kolonial dilakukan kepada penduduk lokal dengan membeli bahan baku dengan harga yang murah dan kemudian menjualnya kembali ke masyarakat lokal dengan harga selangit. Dalam eksploitasi imperialis dilakukan dengan proses latihan (exercise) pendekatan kekuasaan politik dan ekonomi untuk kepentingan eksploitasi mereka atas masyarakat kebanyakan. Pelengkap pendekatan ini adalah dengan melakukan penindasan politik seperti memberi pinjaman uang dengan tingkat bunga yang selangit, dan memastikan mereka tidak akan pernah membayar kembali pinjaman tersebut. Apakah kita tidak melihat ini di negara-negara dunia ketiga hari ini? Akhirnya, dalam eksploitasi fasis, kaum imperialis mempopulerkan teori nasionalisme. Mereka menggambarkan eksploitasi mereka sebagai rasional, konstitusional, dan berdasarkan 'kepentingan nasional." Kemudian mereka mulai untuk melakukan eksploitasi psikis dalam rangka untuk melanjutkan eksploitasi ekonomi mereka tanpa hambatan oleh protes masyarakat sipil. Hal ini disebut eksploitasi psiko-ekonomi. Mereka memilih sebuah komunitas yang lemah tapi kaya akan sumber daya alam. Mereka baik secara sosial dan budaya menargetkan masyarakat lemah dan meyakinkan mereka bahwa mereka tidak berharga dan inferior.

Dalam konteks sejarah pembangunan di Indonesia di masa kolonial, seperti jalan Daendels (jalan Pos), berdampak kerusakan kebudayaan yang parah; dehumanisasi terjadi di luar batas. Ribuan orang tewas hanya untuk mempermudah jalur komunikasi dan transportasi yang notabene untuk kepentingan penjajah. Jalan yang berawal dari Anyer hingga Panarukan ini murni berorietasi ekonomi. Contoh dari pembangunan jalan ini berkaitan dengan potret disorientasi pembangunan saat ini; mengesampingkan aspek budaya lokal. Ribuan kilometer jalan baru dibangun khususnya jalan tol. Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang dilakukan di awal perencanaan sebuah proyek tertentu masih jauh dari optimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan ada resistensi masyarakat terhadap proyek tersebut seperti contoh penutupan jalan tol masyarakat di daerah Tangerang karena pembangunan jalan menutup akses jalan penduduk untuk bersekolah anak mereka dan untuk bekerja dan penolakan pembangunan jalan tol yang harus menyingkirkan sebuah pesantren atas nama “jargon” demi kepentingan umum. Secara umum, Amdal berfungsi masih untuk kepentingan pemodal.

Argumentasi bahwa pembangunan jalan akan berdampak positip bagi perekonomian masyarakat secara tidak langsung mengkerdilkan dan memarginalkan psikis masyarakat saja. Mungkin benar, sebagian masyarakat akan berjualan sepanjang jalan tersebut, akan tetapi, apakah aktifitas ekonomi skala kecil-kecilan benar-benar berdampak peningkatan taraf kehidupan mereka?. Apakah dapat dipastikan bahwa pengguna jalan (contoh: pengguna mobil) akan selalu membeli “jajanan” mereka?. Masyarakat secara sengaja dikonstruk untuk berpikir “pendek” dan akhirnya menyerah kepada kebijakan pemerintah yang selalu menggunakan jargon di atas sebagai payung hukum. ‘Mental Pinggiran” inilah yang selalu muncul sebagai ekses dari skema atas nama pembangunan.

Tanggug jawab dari prilaku ekonomi atas nama pembungunan yang menggurita ini terletak pada seluruh stakeholders. Namun, harapan besar yang ada dari political will pemeritah jauh dari idealitas yang dinginkan. Mental ekonomi menjadi mindset umum yang berbudidaya di kalangan birokrat Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan. Output ekonomi selalu menjadi pertimbangan bagi proyeksi pengembangan potensi pariwisata yang ada dan terkesan mengesampingkan aspek budaya lokal setempat. Beberapa entitas kesenian memang sudah melakukan komodifikasi dari arus meterialistik kebudayaan ini. Di Bali, pelaku budaya sudah memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan baik dengan melihat kesempatan untuk survive dengan menggunakan ritme industri pariwisata sebagai instrumen untuk menjaga nilai dan khazanah budaya mereka dengan baik. Tantangan dan peluang untuk bertahan memang tidak semuanya bisa dilakukan oleh kalangan pelaku kesenian di daerah yang lain karena tiap daerah memiliki konteks yang beragam serta membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Di Karawang, pelaku kesenian jaipong berhasil melakukan negosiasi dengan para politik partai yang menggunakan jasa mereka untuk kepentingan kampanye. Bermain peran adalah kunci penting untuk mampu bertahan di satu sisi. Di sisi lain, penjagaan nilai dan identitas mereka sebagai pelaku budaya juga secara internal dilakukan secara sadar dan berkelanjutan. Meskipun pendekatan ini berpotensi untuk mendehumanisasikan diri mereka sendiri. Jika secara konsisten mereka mampu menjaga “khittah” mereka selaku pelaku budaya, sederas apapun tantangan yang datang pasti akan mampu dihadapi.

Para pemangku kepentingan budaya tidak perlu berpangku tangan kepada pemerintah. Pendekatan kapitalistik pemerintah sangat kental dalam mengelola kebudayaan yang ada di Indonesia ini. RUU Budaya yang masih mengendap di Senayan juga merupakan bukti bahwa pendekatan naïf kementerian ini masih dipertanyakan oleh wakil rakyat di sana. Advokasi dan edukasi pemerhati kebudayaan berhasil menyadarkan anggota dewan untuk menunda RUU sarat dengan nuansa bisnis dan mengesampingkan aspek pemeliharan budaya. Sayangnya Kongres Kebudayaan yang dilakukan di tahun 2008 masih berharap banyak kepada pemerintah untuk memfasilitasi upaya pengembangan kebudayaan di tingkat daerah dan nasional. Selain itu, peran pemerintah diharapkan dapat mewujudkan pembentukan pusat-pusat kebudayaan di ranah internasional.

Sebetulnya peran pemerintah yang besar terhadap peran pemerintah adalah faktor dominan untuk pemeliharaan kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, sumber daya manusia yang paham betul tentang budaya di birokrasi pemerintah ini masih sangat minim. Paradigma yang dipakai masih menggunakan pendekatan ekonomi. Oleh karena itu, peran maksimal kementerian ini masih membutuhkan pembuktian yang signifikan di masa yang akan datang. Permasalahan budaya memang kompleks dan membutuhkan solusi yang komprehensip. Setidaknya ada 3 aspek gerakan yang harus menjadi solusi untuk seluruh stakeholders yang ada; yaitu edukasi, advokasi dan pemberdayaan yang dilakukan secara terus menerus sehingga eksploitasi ekonomi melalui pembangunan akan membangun peradaban nilai yang baik bukan menghancurkan kebudayaan bangsa Indonesia.

Jakarta, 07022011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar